The Guardian [Part 2]

1.8K 130 50
                                    

Aku dengan hati-hati menyalakan lilin di atas kue yang sudah dipersiapkan Lesley. Angka tujuh belas menyala terang dan itu membuat cewek di hadapanku terlihat senang. Dia cantik.

"Harusnya nggak perlu seperti ini." kataku malas. Sebenarnya sedikit malu karena harus merayakan ulang tahun di tempat umum. Meski sebenarnya sih tidak ada yang memperhatikan kami juga. Aku dan Lesley duduk bersebelahan di kursi cafe dekat jendela. Cafe yang mungkin bakal membuatku diabetes karena warna cat tembok dan dekorasinya yang terlalu manis. Eh, juga makanannya. Mereka hanya menyajikan kue, pastri, dan es krim.

Beruntung aku bukan cowok satu-satunya yang terjebak di sini. Beberapa cowok lain terlihat sedang berkencan dengan pasangannya masing-masing.

"Nggak apa-apa. Sekali dalam setahun." kata Lesley. "Sekarang make a wish dan tiup lilinnya."

"Baiklah. Kalau itu bisa membuatmu senang." sahutku ogah-ogahan. Lesley tersenyum lebar.

Aku memejamkan mata, memikirkan apa yang paling kuinginkan.

Sekali saja, tolong tahun ini aku bisa terlihat lebih keren dari biasanya. Dan aku meniup lilin hingga padam. Permintaan yang tolol. Tapi aku tidak peduli.

"Happy birthday, Gusion." bisik Lesley, tersenyum manis. Jantungku mendadak berdebar lebih cepat. "Ini hadiah buatmu." ia memberiku kotak kado ukuran sedang yang dibungkus kertas mengilap warna ungu. "Dibukanya nanti saja ya di rumah."

"Okay." aku ingin mengecup pipi Lesley. Tapi sayangnya tidak punya nyali. "Terima kasih."

Lesley mengangguk. Ia lalu sejenak memerhatikanku. Memandang mataku dengan serius.

"Apa?"

"Kamu nggak pakai softlens?"

Oh. "Tadi kulepas di toilet. Benda itu bikin aku nggak nyaman." sahutku jujur.

"Syukur deh. Aku kira tadi kamu menyetir nggak pake softlens. Keajaiban banget kita bisa selamat."

"Kamu ngeselin, ya?" aku memang tidak bisa melihat jelas tanpa kacamata. Tapi tidak separah itu.

Lesley tertawa. "Lagian kenapa sih tiba-tiba kamu jadi suka pakai softlens? Dulu nggak begitu."

"Biar kelihatan ganteng." jawabku sambil nyengir. Alasan sebenarnya agar aku tidak terlalu kelihatan nerd. Menjadi lemah dan pengecut kurasa sudah cukup buatku.

Lesley tampak sebal mendengar alasanku, membuatku tertawa melihat tampangnya. Tangan cewek itu terulur, ingin menoyor kepalaku untuk melampiaskan kekesalannya. Aku menghindar dan tawaku terhenti saat lengan sweater Lesley yang longgar itu turun. Mataku melihat sesuatu yang aneh di lengan kanannya.

"Apa ini?" aku meraih lengannya lembut. Dahiku berkerut cemas memerhatikan memar kehitaman di lengan putih Lesley.

"Bukan apa-apa." sahut cewek itu. Saat aku masih menatapnya cemas, ia tertawa. "Sungguh, Gusion. Ini bukan apa-apa. Hanya memar biasa. Belakangan ini memang sering muncul tapi akan hilang dengan sendirinya, kok."

Tapi jawaban Lesley sulit kupercaya. Memar menghitam seperti ini tidak mungkin muncul begitu saja di tubuh seseorang. Memar seperti ini hanya bisa didapat jika terantuk amat keras dengan sesuatu. Tidak mungkin tanpa sebab kecuali orang itu mengidap penyakit serius. Dan aku jelas tidak ingin Lesley sakit yang aneh-aneh.

"Aku nggak sakit, okay?" katanya, seolah bisa menebak isi pikiranku. "Aku sudah cek ke dokter. Bahkan cek darah dan MRI. Aku baik-baik saja."

"Tapi memar begini nggak mungkin muncul tanpa sebab." sahutku, masih ragu. Aku menekan pelan memar itu. "Sakit?"

GUSLEY SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang