3. Sebuah Alasan

39 4 0
                                    

Entah mengapa semenjak dijodoh-jodohkan dengan anak kelas, aku dan Dimas menjadi semakin dekat.

Kami jadi lebih sering chattingan, bahkan beberapa kali mengobrol di dalam kelas. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi.

Karena aku sangat malas jika harus dikeroyok anak Kelas dengan lontaran kata "cie"

Hari ini, aku dan Dimas hendak pergi ke sebuah mall di semarang. Karena kami masih SMP, hanya sekadar makan dan menonton bioskop sudah cukup.

Irit, hehe.

Bisa dibilang, ini sebuah kencan rahasia karena tidak seorang pun tau kecuali aku dan Dimas pastinya. Tapi bukan begitu, aku dan Dimas ada hubungan khusus. Kami hanya teman tapi, kebablasan. Seperti itulah.

Setengah jam sudah aku menunggu Dimas di halte dekat sekolah. Ya, kami akan naik kendaraan umum. Kan masih SMP, belum punya SIM.

Katanya, Dimas hendak bertemu temannya sebentar di sekitar sekolah. Tapi nyatanya ini lama sekali.

"Dimas lama banget sih, kasih kepastiannya. Eh, maksudnya dateng ke sini." gumamku tidak jelas sambil sesekali melirik arloji di tanganku.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk mencari Dimas.

Kesana kemari aku mencari pangeranku. Ralat, Dimas. Siang ini sangat terik hingga membuat seragamku cukup basah. Sesekali, aku menelfon Dimas tapi hasilnya nihil, tidak satupun panggilanku dijawabnya.

Akhirnya setelah sekian lama aku mencari Dimas, aku melihatnya bersama seorang lelaki yang tak lain adalah teman satu kelas kami. Mereka berada di depan minimarket dekat halte. Mengapa daritadi aku tidak melihatnya, ya?

Sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang serius. Nyaliku menjadi ciut untuk menghampiri mereka. Akupun memutuskan untuk mengintipnya saja.

"Orak lah, orak."

"Lanjutke wae tho, Mas! Tinggal dikit meneh ogh."

"Yowes. Lah kowe dhewe piye?"

"Aman."

Plakkk!!

Saat ini aku ingin meruntuki diriku sendiri yang dengan bodohnya menginjak botol plastik. Kini mereka menghampiriku dengan bola mata yang nyaris keluar.

"Kowe neng kene dari kapan?!" hardik Rayhan keras sekali padaku.

Aku menundukkan kepalaku karena merasa malu dan sedikit takut. "Tt-tadi, mau bb-beli minum di sini. Eh keinjek." cicitku pelan.

Aku melirik sedikit dan kudapati Rayhan mengangguk lalu beranjak pergi setelahnya.

"Li, ayo!" ajak Dimas padaku yang langsung menggandeng tanganku menuju halte.

Halte ini sangat sepi dengan semilir angin yang membuat suasana lebih romantis. Aku melirik Dimas yang sedang memejamkan matanya menikmati suasana teriknya siang hari ini.

"Dimas, aku boleh nanya?" tanyaku ragu.

Tanpa membuka matanya, Dimas mengangguk perlahan.

Aku menarik nafas berat, tak yakin dengan pertanyaanku. "Apa yang buat kamu tiba-tiba deketin aku sampe ajak aku jalan?" tanyaku yang membuat Dimas berbalik menatapku.

Dimas mengangkat bibirnya ke atas menatapku dengan tenang. "Mau jawaban jujur atau bohong?"

"Ck. Jujur tho ya."

Aku melihat ada keraguan di raut wajah Dimas. Perasaanku sedikit tidak enak.

"Taruhan Li."

Jawaban singkat dari Dimas membuatku terkejut. Aku mengerutkan alisku dan menatapnya tajam, "maksudnya?" tanyaku padanya.

"Awalnya sebelum kita ketemu di kantin, aku udah ada taruhan bareng ef-es-er" ujar Dimas mulai bercerita.

Oh iya, FSR adalah squadnya Dimas dan teman-temannya. Bukan squad hits di sekolah, namun tidak sedikit yang mengenal mereka.

"Kamu sama Lena kan cantik, Li. Jadi aku nargetin kamu sama Lena. Nah waktu dompet kamu jatuh di kantin itu, kebetulan banget pas kita lagi bahas taruhan. Aku godain kamu aja. Makannya banyak yang tanya jadi Lia atau Lena." lanjut Dimas panjang lebar.

Aku tidak lagi menatap lelaki itu. Aku hanya bisa menunduk pasrah. Apakah ia tidak tahu jika penjelasannya barusan membuatku sakit? Ini artinya aku sedang dipermainkan, bukan?

"Taruhannya udah selesai, aku yang menang. Soalnya kamu udah manggil aku beb waktu di chat" Dimas kembali membuka suara.

Sementara aku?
Sedang mati-matian menahan tangis ini.

"Kamu bukan barang taruhan lagi, kok." Perkataan Dimas membuatku mendongak dan menatapnya heran.

Dimas meluruskan pandangannya dan merebahkan punggunya pada dinding halte. "Taruhannya udah selesai. Tapi perasaan aku ke kamu ga akan pernah selesai."

Lupakan tentang sakit hati dan rasa ingin menangis tadi. Atmosfernya kembali berubah. Kini, aku ingin menjerit sekeras-kerasnya.

Dimas memang menyebalkan. Bisa-bisanya dia membuat pipiku yang nyaris terkenal air mata berubah menjadi kepiting rebus.

*****

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang