Merasa bersalah.
Aku menatap nanar punggung Dimas yang mulai menghilang dari pandanganku.
Aku sudah tidak dapat menahan air mata yang kini telah membasahi pipiku.
"Milea."
Aku berdecak malas kemudian menyeka air mataku. "Lia. Bukan milea." seruku sarkastik.
Faris terkekeh mendengar ucapanku. "Iya, iya, Lia." ujarnya yang kemudian tak ku respon sama sekali.
Aku tak berhenti menangis bahkan sampai posisiku kini telah terduduk karena kakiku sudah terasa sangat lelah.
Faris menepuk pundakku pelan, membuatku menoleh ke arahnya. "Balek yok ke kafe." ajaknya lembut padaku.
Aku menggeleng pelan seraya mengarahkan tangan kananku untuk menyingkirkan tangan Faris dari pundakku.
Faris hanya tersenyum. Kemudian ia memegang lenganku dengan kedua tangannya, "Ayo bangun. Malu diliatin orang nanti." ujarnya.
Setelah posisiku benar-benar berdiri, Faris menggandeng tanganku—ralat, menyeret lebih tepatnya. Iya karena ia memaksaku untuk ikut bersama langkahnya.
"Kita mau ke mana?"
"Itu kafenya, kok dilewatin doang?"
"Faris, kita mau ke mana?"
"Ris, aku tanya lho iki."
Faris tidak menjawab pertanyaanku yang sudah kuulang beberapa kali. Ia hanya fokus menyeretku dan membawaku ke suatu tempat.
"Faris, aku capek."
Barulah laki-laki itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadapku. "Mau tak gendong?" tanyanya yang langsung kurespon dengan gelengan cepat.
Faris tertawa puas melihat reaksiku yang seperti orang ketakutan. "Ini udah nyampe." ujar Faris seraya membentangkan tangannya memperlihatkan keadaan di sekitar.
Danau.
Aku tersenyum kecut melihat pemandangan sekitar. "Bagus banget ini, Ris." ujarku pada Faris dengan pandangan lurus.
"Ayo masuk!" ajak Faris yang langsung membuatku mengernyit.
Masuk? Masuk yang bagaimana? Masuk ke danau?
Faris terkekeh melihat reaksiku, "Masuk ke rumah, tuh" ujarnya seraya menunjukan rumah besar yang ada di belakang kami. Iya, rumahnya langsung berhadapan dengan danau. Luar biasa bukan?
Awalnya aku hendak menolak ajakan teman lelakiku itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun karena aku terlalu lemah, akhirnya kuikuti saja.
****
"Kamu marah sama Dimas, Li?"
Aku menoleh ke arah datangnya suara dan mengernyit bingung. "Hm?" Aku hanya bergumam sebagai respon.
"Kamu marah sama Dimas sampe kamu lupa kalau bisa jadi ada yang marah juga sama kamu."
Aku menghembuskan nafas kasar. "Udah tahu, teman-teman Dimas kan semuanya marah sama aku."
"Bukan teman-teman Dimas."
Aku berdecak malas. Selain malas karena Faris tidak langsung menyelesaikan kalimatnya dengan benar, aku juga kesal karena sedari tadi lelaki itu berbicara tanpa menatapku.
"Terus siapa, Ris? Kamu? Mama? Papa? Orang lewat? Kalau ngomong itu yang je—"
"Teman-teman kamu."
Aku memilih untuk tidak membuka suara. Bukan karena aku tertegun dengan kalimatnya seperti aku tertegun dengan setiap kalimat Dimas. Tetapi karena aku menunggu apa yant akan dikatakan Faris selanjutnya.
Kalau ia masih memotong-motong kalimatnya, aku berjanji akan memotong ginjalnya lalu kujual dan kubelikan apartemen untuk masa depanku dan Dimas.
Lia memang semakin kacau.
"Milea,"
"Lia."
"Iya-iya Lia."
"Apa?!"
Faris menghembuskan nafas kasarnya sebelum kembali membuka suara.
"Beberapa hari yang lalu aku ke rumah kamu, mau ngajak kamu les. Tapi katane temenmu, kamu lagi rak mau diganggu. Terus iseng-iseng, tak ajak temenmu itu main di taman komplek."
"Tunggu-tunggu, temen aku yang mana?" selaku karena merasa cukup bingung jika Faris terus menyebut 'temenmu'.
Lelaki itu menggeleng pelan, "Lupa namane. Emm, rumahnya di sebelahmu. Wajahnya Arab banget, ayu pokok'e."
"Vina namanya."
Faris mengangguk, lalu melanjutkan ceritanya. "Darisitu kita banyak ngobrol. Aku juga sempet nanya kenapa akhir-akhir ini kamu jarang berangkat les. Tau rak, dia jawab opo?"
Aku menggeleng sebagai respon.
"Jangankan les yang ngebosenin, main sama kita-kita yang seru aja dia ngga sempet. Lagi kasmaran tuh, makannya sibuk banget. Kesel juga kadang-kadang. Tapi lebih ke kangen sih."
Aku hanya bisa menunduk dan merasakan mataku memanas. Semenjak dekat dengan Dimas, aku tidak mau lagi diajak pergi pulang sekolah dan memilih telponan dengan pangeranku hingga larut malam.
Dan Vina, bahkan aku sempat berpikiran buruk padanya hanya karena Dimas.
"Aku cuma pengen ngasih tau, kamu ki terlalu sibuk sama Dimas. Padahal di sekitar kamu, ada hal lain yang lebih menyenangkan."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
It's About LDR
Short Story"Aku pikir aku tahu segalanya tentang kamu. Tapi ternyata aku salah. Perasaan kamu ke aku aja aku ga tau." - Anastasya Ayu Berliana "Jangan minta aku buat mencintai kamu, karena memang sudah. Dan jangan minta aku buat milikin kamu, karena ga mudah."...