7. Karena Angin

46 4 0
                                    

Hari ini entah mengapa aku merasa sangat mual?

Tolong jangan negathive thinking dulu padaku. Aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan siapapun.

Kecuali nanti kalau sudah halal dengan Dimas. Eh, tidak-tidak. Ayolah Liat, kendalikan halusinasimu.

Aku menyesali perbuatanku semalam yang dengan kurang ajarnya memakan dua mangkuk mie instan super pedas dari negeri gingseng.

Alhasil, penyakit maag aku kumat dan rasanya benar-benar mual.

Keberadaanku di kelas tepatnya saat guru menerangkan sangat tidak tepat untuk meminta izin ke kamar mandi. Apalagi untuk muntah.

"Jadi anak-anak, kalau kalian ingin menulis sebuah surat resmi harus memperhatikan----"

Aku tidak lagi memperhatikan Bu Sri yang sedang mengajar Bahasa Indonesia. Masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

"Li, kenapa?" bisik Lena padaku. Mungkin ia sadar jika sedari tadi teman sebangkunya ini tampak gelisah.

Aku hanya menggeleng pelan sambil memegang perutku erat.

Dan kurang ajar nya, kini bukan hanya mual yang timbul. Melainkan juga mules.

Sumpah demi cintaku pada Dimas, aku benar-benar ingin buang air besar.

"BROOTTT"

"Siapa yang berani-beraninya kentut di jam pelajaran saya?!"

Lia, selesailah hidupmu.

Aku hanya menunduk malu berdoa komat-kamit semoga tidak ada yang sadar jika yang kentut barusan itu aku.

"Saya Bu."

Aku mendongak menatap kagum lelaki yang tempat duduknya berjarak 1 meja di depanku. Dia baru saja mengakui hal yang tidak dilakukannya?

Jadi makin cinta sama Dimas.

Tunggu, bukankah jika begitu Dimas tahu jika yang kentut itu aku? Bagaimana ini?

Bu Sri tampak sangat marah hingga meminta Dimas keluar ruangan.

Dan sebelum Dimas benar-benar pergi, ia mengedipkan sebelah matanya untukku.

Apakah aku harus tersipu ataukah harus mengubur diri karena terlalu malu?

*****

Hal pertama yang aku lakukan ketika sampai di rumah adalah membuang semua mie instant terkutuk itu ke dalam tempat sampah.

Lupakan tentang perutku yang mulas dan terasa mual. Aku sudah melegakannya ketika jam istirahat di sekolah tadi.

Aku memilih untuk beristirahat di kamar tanpa membuka ponselku.

Karena tadi ketika aku meliriknya, ada 11 notifikasi dari Dimas. Aku yakin, ia pasti meledekku habis-habisan.

"Liaa!! Assalamualaikum!!"

Siapa yang berani-beraninya mengganggu ketenanganku?!

Setelah kubuka knop pintu, ternyata itu Vina. "Kenapa, Vin?" tanyaku pada gadis yang sedari tadi menyengir di hadapanku ini.

Vina menampakkan puppy eyes miliknya yang membuatku bergidik ngeri. "Mm, boleh ga gua numpang makan di sini?" tanya Vina dengan nada genit.

Aku hanya berdecak malas dan menyuruhnya masuk sebagai jawaban.

Tanpa melontarkan sepatah katapun, Vina dengan lahap memakan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya yang sudah tersedia di atas mejaku.

"Pelan-pelan makannya, Vin." tutur aku menasihati Vina. Sebagai jawaban, Vina hanya mengangguk.

Baru saja aku hendak ikut makan bersama Vina, ponsel milik wanita itu berdering dan menampilkan tulisan "cowok"

"Angkat dong, Li! Berisik tau!" Aku melotot mendengar seruan Vina. Yang punya ponsel siapa coba.

Karena malas berdebat, aku memilih untuk langsung mengangkat telefon itu dan menekan tombol 'loud speaker'

"Hai cantik. Tadi kentutnya bau banget yah. Mana banter lagi."

Tiittt

Aku memicingkan mata ke arah Vina yang sedang menutup mulutnya menahan tawa yang sebentar lagi pecah.

Dan setelah aku mengancamnya, Vina baru mau menceritakannya.

Flashback on

Vina mengernyit membaca sebuah chat dari nomor yang tidak ia save.

Hai cantik.
Boleh minta tolong?

Apa?
Lu siapa?

Dimas.
Rumahmu sebelahan karo rumahe Lia tho?

Y

Tolong ke rumah dia saiki
Minta makan
Trs nek aku telpon, suruho dia yang ngangkat.

Ogah

Sesok tak beliin apa wae di kantin

Eskrim 3 cone

Deal.

Dan akhirnya Vina memutuskan untuk beranjak pergi dan segera menuju rumah Lia.

Selama perjalanannya, dunianya tampak seperti ice cream.

Flashback off

Sekarang, Lia hanya ingin membunuh Dimas.

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang