12. Berbeda

20 2 0
                                    

Jangan berpikiran bahwa setelah kejadian kemarin, aku dan Dimas akan berbaikan, jadian, lalu bahagia.

Tidak semudah itu ferguso.

Mungkin dikatakan berbaikan memang benar, karena kami sudah saling berkomunikasi lagi.

Tapi tetap saja, aku masih tidak mengerti dengan kata-kata Dimas kemarin. Mengapa harus malu?

Aku sudah bertanya pada Lita, Lena, dan juga Dila apakah aku memalukan atau tidak. Merekapun menjawab tidak.

Tidak salah lagi.

"Woi ni bocah ngelamun mulu, kesambet mati lu!"

Jangan tanya itu suara siapa, sudah jelas itu Vina. Siapa lagi yang suka menggangguku di ayunan ini.

"Vin, aku malu-maluin ga sih?" Vina mengernyit mendengar pertanyaanku.

Vina tampak menatapku dengan intens. Melihat tubuhku dari atas hingga bawah. "Dengan berat hati, gue jawab iya, Li. Lo gendut." Setelah mengucapkan kalimat sialan itu, dia tertawa terbahak-bahak.

Aku berdecak malas mendengarnya. Kudoakan semoga tersedak.

"Uhuk uhuk"

Doaku terkabul rupanya.

Vina menepuk pundakku. "Emang kenapa sih, Li? Dimas bilang lo malu-maluin?" tanya Vina padaku.

Aku menghela nafas berat lalu menggeleng pelan. "Dia malu ngaku sama temen-temennya kalo kita deket." jawabku berat.

Aku melirik Vina yang hanya mengangguk-angguk merespon jawabanku. Setelahnya suasana hening.

"Li."

Aku menoleh ke arah Vina, "hm?"

"Dimas pernah cerita ke gue." ujar Vina pelan seperti sedang berhati-hati dengan perkataannya.

Aku sangat penasaran dengannya, dengan sigap aku memutar tubuhku menghadap Vina. "Cerita apa?" tanyaku antusias.

Vina diam. Pandangan matanya tak terarah. Aku makin penasaran dibuatnya.

"Dimas pernah cerita kalau...."

"Kalau apa sih, Vin?!"

"Kalau lo gendut."

Tolong manusia satu ini bisa dikubur hidup-hidup sekarang juga tidak sih?

*****

Sialan. Mengapa kejadian seperti kemarin harus terulang lagi? Apakah memang semesta merencanakannya?


Mengapa di antara ratusan siswa di sekolah ini, harus menyisakan aku dan Dimas di depan gerbang?

"Li!"

Dan mengapa juga pangeran itu harus memanggil namaku? Padahal kan, aku sudah pura-pura tidak melihatnya.

Mau tidak mau aku menoleh ke arahnya, "apa?" tanyaku sedikit jutek.

"Udah sepi nih,"

Aku bergidik ngeri mendengar ucapan Dimas barusan. Kalau sudah sepi terus mau apa? Jangan-jangan, dia mau macam-macam lagi sama aku.

Seneng sih, tapi kan gimana.
Astagfirullah, Lia.

"Nggak, maksudku kita bisa ngobrol kalau udah sepi gini." Dimas menjelaskan ulang maksud perkataannya tadi tanpa kuminta. Mungkin ia membaca ekspresiku tadi.

"Oh." jawabku singkat.
Wajar, perempuan kan jual mahal.

Dimas berjalan mendekat ke arahku karena memang jarak kita tadi tidak normal untuk saling berbicara.

"Aku minta maaf ya, Li! Soalnya--"

"Emang udah lebaran ya?"

Bodoh. Kenapa juga aku harus memotong perkataan Dimas. Ekspresi lelaki itu tampak sangat terkejut mendengar sambaranku.

Harusnya kan, aku menghargai keberanian Dimas yang hendak meminta maaf.

Eh tapi minta maaf untuk apa? Bukannya kita sudah seperti biasa?

"Maaf" cicitku pelan.

Dimas terkekeh pelan dengan tatapan menenangkan khasnya. "Ga apa-apa."

Setelahnya Dimas diam. Ia menunduk sambil menggerak-gerakan kakinya. Aku bingung harus apa. Ajak ngobrol tidak, ya?

"Uhm, Dim, aku minta maaf ya ss--"

"Emangnya lebaran? Hahahaha."

Nahkan, senjata makan tuan ini namanya. Dimas membalikan perkataanku yang tadi.

"Lucu ya kita, udah jarang ngobrol, sekalinya ngobrol malah maaf-maafan."

Aku hanya tersenyum kecut merespon perkataan Dimas. Ingin sekali aku berkata dengan lantang, yang lucu itu perasaan kamu, Dim.

"Perasaan kamu ke aku itu gimana sih, Dim?" Dimas tampak terkejut mendengar pertanyaanku. Bahkan, aku sendiri juga terkejut.

Aku melirik ke arah Dimas yang sedang menunduk. Aku masih menunggu jawaban darinya.
Dan sampai detik ini ia belum menjawabnya.

Aku tertawa sinis memperhatikan Dimas yang tak kunjung buka suara.

"Aku pikir aku tahu segalanya tentang kamu. Tapi ternyata aku salah. Perasaan kamu ke aku aja aku ga tau." Kali ini aku sengaja mengatakannya dengan keberanianku. Aku sudah lelah dengan ketidakpastian Dimas.

Ini aku yang kebaperan atau memang perhatian Dimas yang sudah keterlaluan?

"Maaf.."

"Aku ga perlu maaf kamu, Dim. Capek dengernya. Sakit ya mempertahankan kamu. Jangankan buat milikin kamu, buat dapetin cinta kamu aja susah, Dim."

Dimas diam. Aku bisa melihat dari raut wajanya ia tampak seperti menahan sesuatu untuk dikatakan.

"Kenapa kamu diem, Dim? Kam--"

"Jangan minta aku buat mencintai kamu, karena memang sudah. Dan jangan minta aku buat milikin kamu, karena ga mudah."

"Tapi, Dim--"

"Aku terlalu sayang sama kamu, Li. Aku ga mau kita terikat, tapi akhirnya lepas. Gini aja aku juga udah bahagia, sayang."

Lemah. Lia benar-benar lemah.
Kini rasanya aku ingin menjerit sekeras mungkin sambil memeluk Dimas.

"Cie, senyum. Cantik, deh!"

Dimas memang selalu bisa membuat moodku lebih baik. Benar katanya, seperti ini saja sudah buat kita bahagia.

Dimas mendekat ke arahku membuatku memicingkan mata. "Jangan minta kepastian lagi, aku nikahin baru tau rasa kamu!"

Mati saja lah, aku.

*****

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang