5. Malaikat Sebelah Rumah

33 3 0
                                    

Aku terdiam mengikuti arah ayunan tua di taman dekat rumahku. Menikmati semilir angin yang menggelitik. Dan tanpa sadar, meneteskan air mata.

Aku mengenang masa kecilku yang begitu sulit. Ketika Papa memilih untuk menjadi seorang pelaut, ketika itulah aku mulai merasa hampa.

Anak-anak yang lain dengan bangganya memamerkan diri diajak liburan Papanya. Sementara aku, dipaksa menikmati uang papa tanpa mengenal siapa beliau.

Bukannya aku tak kenal atau bagaimana. Aku tahu siapa nama Papaku, dan bagaimana wajahnya. Tapi hanya sebatas itu.

Belum lagi, aku tinggal dengan Mama dan Oma dari Papa. Tidak sekali dua kali mereka berdebat yang membuat kepalaku nyaris pecah memikirkannya.

Angin yang tadinya menenangkan berubah menjadi menyeramkan karena turunnya hujan. Aku bukan penikmat hujan, tapi aku juga bukan termasuk orang yang benci dengan hujan.

Air mataku kian menambah deras diiringi hujan yang begitu lebat. "Kapan aku bahagia?!" gumamku lemah bersender pada tali ayunan.

Ayunanku berhenti bergerak seperti ada yang menahannya. Seorang gadis seusiaku dengan kuncir dua muncul. Ia tersenyum menenangkan.

"Hai Lia." sapa Vina sambil mengayunkan tangannya yang membentuk lima jari.

Ekor mataku membuntutinya yang kini ikut duduk di ayunan sebelahku. "Ngapain kamu di sini?" tanyaku ketus.

Vina mengernyit. Sepertinya ia sadar jika aku tidak suka dengannya.

"Jerawat lu banyak ya!" ujarnya setengah berteriak agar aku mendengarnya meski hujan turun.

Aku mencebikkan bibirku mengabaikan Vina yang kini tengah tertawa puas. Apa-apaan coba. Aku pikir dia hendak mengatakan sesuatu yang bermutu, ternyata tidak.

Tanpa sadar, aku ikut tertawa dengannya.

"Nah, gitu dong. Ketawa. Udah bahagia belom?" tanya Vina padaku dengan senyum yang tidak pernah hilang.

Hujan kian reda, menyisakan aku yang terdiam menatap Vina di hadapanku. Ternyata aku terlalu egois menganggap ia menyebalkan. Nyatanya, ia berhasil membuatku tertawa di tengah kesedihanku.

"Kok diem?" tanya Vina lagi.

Vina mengelus pundakku perlahan hingga membuatku terisak pelan.

"Sabar, keluarin aja air matanya. Ntar kalo numpuk di kelopak mata elu, jadinya sumur." Sontak aku tertawa mendengar celotehnya. Sungguh, aku salah menilainya dari awal. Vina sangat menyenangkan.

Aku mendongak ke arah Vina. "Kamu belom jawab pertanyaan aku." ujarku.

Vina tampak berusaha mengingat apa pertanyaanku. Karena ia lamban, jadi terpaksa aku ingatkan. "Kenapa kamu di sini?" tanyaku mengulang.

Vina memanyunkan bibirnya membentuk huruf 'O'
"Tadi di suruh beli garem, terus tokonya tutup. Eh, pas lewat sini liat ada Mbak Kunti." jawab Vina yang membuatku menjitak dahinya.

"Kurang ajar! Cantik-cantik gini dibilang mbak kunti." jawabku kesal namun sambil tertawa kecil.

Setelahnya Vina hanya menyengir.

"Rumah kamu deket sini?" tanyaku yang hanya dibalas anggukan oleh Vina.

"Kita satu komplek dong. Rumah kamu yang mana?" tanyaku lagi.

"Sebelah rumah lu."

Aku memicingkan mata mengejek Vina, "Emang kamu tahu rumah aku?"

Vina berdecak malas. "Tahu lah, kan sebelahan. Lu tau Bu Kinan?" Aku mengangguk menanggapi perkataan Vina.

"Nah, dia tante gua. Gua tinggal di sana. Tadi waktu gua keluar rumah, gua ngintip ke rumah sebelah ngeliat ada sepatu elu." jelas Vina panjang lebar dan aku hanya mengangguk pelan.

Aku menolehkan pandanganku lurus ke depan dengan kedua tangan memeluk tubuh. Aku mengamati ekosistem di taman ini setelah diguyur hujan. Aroma air masih sangat tajam menusuk indra penciumanku.

Hingga semua itu terbuyarkan karena Vina yang tiba-tiba menarik kepalaku untuk menghadap dirinya.

"Gua rasa, kita senasib. Kalo ada apa-apa, cerita aja. Gua juga pengen curhat banyak ke elu." ujar Vina yang kemudian ia berlalu.

Aku mematung di tempat. Bukan karena terkejut, terharu atau bagaimana. Sama sekali bukan. Hanya saja, Vina menarik kepalaku begitu keras. Dan sekarang leherku sakit sekali.

Tenaga Vina sangat kuat. Kurang ajar sekali. Kalau aku tengeng gimana? Nanti Dimas tidak mau denganku lagi.

Eh ngomong-ngomong Dimas, mengapa aku tidak bertanya pada Vina tadi?

*****

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang