16. as usual

20 2 0
                                    

Berat bagiku untuk melupakan semua yang telah terjadi. Antara aku, Dimas, dan orang-orang di sekitar kami.

Meski Begitu, waktu tetap berjalan. Aku harus melanjutkan hidupku seperti biasanya. Meski kini tanpa Dimas.

Aku rasa setelah habis dimakan waktu, semuanya semakin membaik. Aku dan orang-orang yang sempat mencemoohku karena Dimas kini sudah biasa saja. Dan Dimas sendiri, aku rasa ia baik-baik saja dengan kehidupannya.

Oh iya tentang masalah itu, aku sempat menanyakannya pada Dimas. Dia memang tidak tahu apa-apa. Tapi setelah aku beri tahu, dia tetap tidak apa-apa.

Biasa saja.

Seolah apa yang aku hadapi kemarin-kemarin itu masalah biasa.

Iya semua memang terlihat biasa di mata Dimas. Perasaanya ke aku biasa saja, sikapnya ke aku harus kuanggap Biasa, dan kini semua berjalan seperti biasa.

"Li, ambilin spidolku di bawah kursimu dong." Inilah buktinya, aku dan Cecil, salah satu teman Dimas yang 'mengeroyokku' kini duduk sebangku.

"Makasih." ujar Cecil setelah aku memgambil spidolnya.

Kalau kalian bertanya bagaimana perasaanku saat ini. Jelas saja aku masih menyimpan duka lara. Tapi mau bagaimana lagi? Kehidupan akan terus berjalan.

Lagipula kejadian itu sudah berlalu sebulan lamanya. Iya, saat itu aku beruntung Karena mereka melakukan 'aksi' sehari sebelum liburan. Ya, setidaknya aku masih memiliki waktu menyendiri tanpa harus absen sekolah.

"Lia!"

Aku menengok ke arah seseorang yang meneriakkan namaku.

"Dikangenin Dimas."

Aku hanya tersenyum kecut mendengar gurauan Raihan, teman dekat Dimas. Tapi sebenarnya aku juga ingin menangis setelah melihat senyum jail Dimas.

Senyuman yang sebulan terakhir ini tak pernah jadi milikku.

Sungguh, aku rindu.

*****

Duduk di bangku kantin ini mengingatkanku pada hari dimana Dimas menggodaku.

Hari dimana pertama kalinya aku tersipu malu mendengar gurauan Dimas.

Pandanganku kosong, berusaha menahan perihnya serpihan kenangan indah di masa lalu beraama Dimas.

"Udah, Li. Lupain aja Dimasnya, ga penting juga." ucapan Vina membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum sebagai respon.

Mengenai Vina, meski sempat marah padanya, namun aku tak pernah menyimpan dendam sedikitpun. Aku tahu benar jika Vina tidak salah. Hanya saja saat itu aku sedang emosi.

"Lina lagi deket ya, sama kakak kelas nih." Ara menyeringai menggoda Lina yang sedang menikmati es tehnya.

"Ah Apasih, enggak."

Dila yang baru saja datang dengan bakwan di tangan kanannya ikut menggoda Lina, "Iya yoo, kemarin aku liat kowe pulang bareng kakake."

Wajah Lina semakin memerah karena yang lain terus menerus menggodanya.

Dan aku hanya ikut tersenyum dan tertawa kecil. Ehm, sesunggugnya aku rindu ada di posisi Lina. Biasanya kan, topik mereka adalah aku dan Dimas. Ah, sudahlah.

"Gue pengen pipis, temenin dong!" Jika biasanya aku akan Menjawab iya dengan antusias jika ada temanku yang berkata demikian.

Namun kali ini tidak. Aku benar-benar malas untuk bergerak sedikitpun.

Benar saja, semua menoleh ke arahku. "Biasane kowe seneng kalo ke kamar mandi. Kan bisa ngaca sekalian touch up"

Perkataan Dila barusan membuatku terkekeh geli. "Sekarang mau touch up biar diliat siapa coba?" jawabku sambil tersenyum.

"Iya juga ya, dulu kan ada kesayangan. Sekarang udah tinggal kenangan, masa mau pamer cantik sama Pak Satpam." celetuk Lina meledekku.

Semua tertawa termasuk aku. Sebenarnya tidak ada yang lucu, karena hal itu terdengar seperti hinaan. Namun aku tahu, mereka semua tidak seperti itu. Mereka tertawa karena memang hal ini hanya jokes biasa.

"Gitu dong, Li. Udah bisa ketawa lagi. As usual."

As usual....

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang