17. Cukup tau

23 1 1
                                    

Kupikir kehidupanku telah berjalan seperti biasanya. Aku sudah kembali bahagia, dan mungkin dia juga.

Keadaan mulai membaik, dan luka hatiku pun perlahan reda.

Sampai pada suatu hari dimana segelas kopi ini menjadi saksi bisu bagaimana rindu berseteru dengan dalamnya luka dihatiku.

"Ngopi, Li?" suara serak khas lelaki yang dulu menjadi canduku terdengar sangat manis.

Apalagi setelah ia menarik kursi dan kemudian duduk di hadapanku. Ah, senyumnya itu.

"Setau aku kamu ngga begitu suka ko---"

"Sok tau." selaku ketus menanggapi ucapan Dimas yang belum selesai.

Lelaki itu tampak terkejut namun sedetik kemudian ia kembali memperlihatkan senyum di wajahnya.

"Kamu lagi apa? Biasanya mager ke luar rumah. Lagi ada masalah? Atau lagi janjian sama orang? Wah jangan-jangan kamu udah punya pacar baru ya. Maaf kalo aku gang---"

"Iya kamu ganggu." lagi-lagi aku menyela celotehannya. Dan yang kali ini, Dimas terlihat lebih kecewa. Ah, masa bodo lah.

"Aku kangen"

Aku benar-benar terkejut. Jika kalian berpikir yang mengatakan kalimat bodoh itu adalah Dimas, kalian salah besar. Akulah yang mengatakannya.

Aku melihat mata Dimas berbinar setelah mendengar ucapanku. Tak hanya terkejut, sepertinya ia juga merasa tidak percaya bahwa aku seberani itu.

"Aku lebih, Li."

Awalnya aku ingin tersenyum mendengar jawaban Dimas. Namun tiba-tiba ingatanku melayang akan kejadian-kejadian yang menyakitkan. Yang sayangnya semua bermuara karena Dimas.

Aku teringat kembali bagaimana teman-teman dekatnya menyerangku dan tanggapan Dimas seolah tak perduli dengan itu.

"Dim, aku emang kangen. Lebih tepatnya kangen saat-saat di mana aku belom jatuh cinta sama kamu."

"Maksudnya?"

"Jatuh cinta sama kamu itu kesalahan besar yang buat hidup aku jadi lebih kacau." ujarku kemudian melenggang pergi meninggalkan Dimas.

Sebenarnya aku ke kafetaria ini bersama Faris, teman les-ku. Awalnya kami hendak belajar bersama di sini.

Tapi berhubung tempat pensilnya tertinggal di rumahnya, dan untuk mengambilnya bisa dijangkau dengan jalan kaki, jadi ia memintaku untuk menunggu di sana sendiri.

Aku tidak tahu bagaimana Dimas menemukanku di sana.

Biarlah aku meninggalkan tempat itu, Faris bisa kutelepon nanti setelah aku lebih tenang.

"Lia."

Aku benar-benar terkejut ketika melihat Dimas mengejarku bahkan sampai ke gerbang komplek perumahan ini.

Fyi, Kafetaria tadi berada di dalam komplek Perumahan tempat Faris tinggal.

Aku mengalihkan pandanganku dan kembali hendak berlari. Namun Dimas berhasil meraih tanganku dan membuatku berbalik menghadapnya.

"Lia, aku cuma mau kamu tau. Selama ini aku sakit kamu cuekin terus. Setelah kamu cerita soal temen-temenku, kamu hilang gitu aja. Awal mulai masuk sekolah lagi, aku sapa kamu tapi ga pernah kamu liat. Dan sekarang aku bener-bener kangen sama kamu, Li. Aku wis rak iso pura-pura biasa aja."

Sesungguhnya aku senang sekali mendengar rentetan kalimat yang dilontarkan Dimas. Hanya saja, ah sudahlah. Ingat Lia, Dimas sudah akan kamu anggap sebagai cerita di masa lalu.

Melihatku yang tak kunjung buka suara, Dimas kembali melanjutkan kalimatnya. "aku minta maaf soal temen-temen aku. Mereka emang rak seneng sama kamu."

Kali ini aku dibuatnya marah, "Terus kenapa kamu ga kasih tau aku, Dim?" tanyaku sambil melepaskan genggaman Dimas yang begitu kuat.

Kali ini Dimas meninggikan nada suaranya. "Tak pikir itu ngga penting. Aku juga gatau nek mereka sampe nyerang kamu. Ter---"

"Kenapa waktu itu kamu keliatan biasa aja?" Sepertinya ini ketiga kalinya aku menyela ucapan Dimas. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar kecewa dengan lelaki itu.

"Lah emangnya aku harus gimana? Kalau aku marah-marah ke mereka, kamu ngga mikir kalau mereka jadi tambah benci sama kamu?"

"Tap--"

Kali ini Dimas yang memotong pembicaraanku, "Aku jadi bingung sama kamu, Li. Kamu marah ke aku itu kayak tanpa sebab. Kamu tau kan kalau aku gatau apa-apa?"

Aku mengangguk pelan setelah melihat Dimas yang menunggu jawabanku.

"Lia dengerin aku. Aku sayang banget sama kamu, tapi nek misale kamu nyuruh aku buat rak temenan sama mereka lagi gara-gara insiden itu ya aku rak iso lah. Jangan egois."

"Oh aku egois, cukup tau ya, Dim." jawabku dengan nada kecewa.

Apa katanya? Jangan egois? Hey, selama ini yang egois siapa. Yang tidak mau memberi aku kepastian siapa.

"Milea." panggilan itu memecahkan keheningan yang sempat beberapa menit terjadi di antara aku dan Dimas.

"Kamu udah punya pacar, Li?" Aku mengalihkan pandanganku dari Faris— yang tadi memanggilku— dan kini melihat Dimas dengan mata yang terus berkedip.

"Iya, ini pacar aku, Dim." Tentu saja Faris terkejut mendapati pernyataanku.

Dimas pun juga begitu. "Oh, jadi kamu cuek ke aku soalnya udah punya yang baru. Bukan karena kejadian itu. Jahat ya kamu bikin seolah-olah aku yang salah. Ak---"

"Heh mulutnya dijaga!"

Kini bukan aku yang memotong pembicaraan Dimas, melainkan Faris. Ya, lelaki itu memang playboy. Tapi ia paling tidak suka jika aku disakiti lelaki lain. Entah mengapa.

"Apasih yang kamu liat dari cowo ini, Li?" Pertanyaan Dimas membuatku marah. Aku tidak tahu sejak kapan laki-laki ini menjadi orang yang suka meremehkan orang lain seperti ini.

"Denger ya Dim, jelas aja aku suka sama Faris. Dia lebih-lebih dari kamu. Dia ga seganteng kamu, dan ga seromantis kamu. Tapi yang perlu kamu tau, DIA BENERAN NGEJAGAIN HATI AKU. DIA GA BRENGS*K KAYAK KAMU YANG BISANYA CUMA NGELULUHIN HATI AKU PAKE KATA-KATA BASI."

"Cukup tau ya, Li." ujarnya setelah itu melenggang pergi.

*****

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang