9. Futsal?Aamiin!

32 2 0
                                    

Aku sudah tidak marah lagi dengan Dimas. Padahal hanya sekedar kata-kata, lelaki itu berhasil membuatku kembali luluh.

Hubunganku kini baik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik. Meskipun belum ada kepastian mengenai status hubungan kita.

Oh iya, masalah bucket bunga dan cokelat itu,
Ternyata dari Vina.

Katanya ia dapat semua itu dari kedua orang tuanya yang menetap di Jepang. Alasan Vina memberikannya padaku adalah cokelat itu mengandung kacang. Vina alergi kacang.

Dan ia benci sekali diberi bunga. "Emangnya gua setan, makannya bunga!" begitulah elakannya yang memang sangat tidak masuk akal.

Hari ini adalah hari yang paling disukai se-antero sekolah. Hari apa lagi jika bukan classmeet.

OSIS di sekolahku mengadakan berbagai lomba, dan yang setiap tahun dilaksanakan adalah Futsal.

Semenjak kelas tujuh, futsal kelasku sudah menonjol. Tidak jarang tim ini mengalahkan kakak kelas. Ya, walaupun belum pernah mendapatkan juara satu. Menjadi yang kedua atau ketiga tidak terlalu buruk bukan?

Begitu juga yang lain, aku senang sekali mendukung tim futsal kelasku. Selain karena seru, di tim tersebut ada Dimas.

Aku sedang duduk beberapa sentimeter dari pinggir lapangan bersama dengan teman wanita sekelasku.

Teriakan ricuh terdengar antar suporter. Yang aku tahu, kali ini kelasku sedang melawan kakak kelas. Entah sembilan ge atau de, atau mungkin be. Aku tidak mendengar dengan jelas.

"Delapan A!!"

Sementara temanku yang lain menyoraki, aku hanya bertepuk tangan. Lagipula suaraku yang seperti semut ini memangnya terdengar? Lebih baik kudoakan saja semoga tim kelasku menang. Dan pencetak golnya adalah calon suami, Dimas. Aaamiin.

"Weh, kakik'e Dimas lencir banget, yo!"

"Hee nda. Putih mulus banget."

Aku melirik tajam pada orang yang mengatakan kalimat itu. Awalnya hanya mereka. Tapi lama kelamaan semuanya menjadi salah fokus pada kaki Dimas. Huh, menyebalkan.

Memang sih, kakinya bagus. Tapi itu namanya zina mata! Kurang ajar lihat-lihat betis suami orang! Eh, belom ya. Doain dong.

"Li, Dimas yang mana?" Siapa lagi yang menanyakan hal itu jika bukan Vina.

Aku berdecak dan menunjukan Dimas pada Vina hanya dengan gerakan kepala.

Setelahnya Vina mengangguk.
Aku pikir ia akan diam dan kembali menikmati pertandingan futsal itu. Tapi,

"Subhanallah Li, kakinya lebih cantik dari elu."

Hih aku benar-benar kesal pada Vina dan ingin menyentil ginjalnya.

*****

Pertandingan pertama tadi membuahkan kemenangan, sehingga tim futsal kelasku akan maju ke babak selanjutnya.

Aku sedang beristirahat di kantin bersama teman-teman helium.

Beruntungnya aku, kini Vina mengintil dengan Gumshooter. Akhirnya aku bisa hidup tanpa Vina walau hanya beberapa menit.

Melihat Ara dan Andra yang memberi minum anak-anak futsal, aku jadi ingin juga. Sekalian modus sama Dimas. Hehe.

"Oy, Li. Bengong terus. Iki lho, es tehmu wis dadi." ujar Lena mengagetkanku seraya menyodorkan segelas es teh. Setelahnya, aku memilih untuk duduk.

"Kowe ki napa tho, Li? Kok bengong terus?" tanya Lita kemudian ikut duduk di sebelahku.

"Halah paling mikirke Dimas." sahut Dila yang kuiyakan di dalam hati.

"Hiya! Hiya! Ada yang lagi mikirin Dimas!!"

"Duh, kalo pacar sendiri emang gitu ya.. Dipikirin mulu."

"Ra, ntar bagian ngasih minum kasih Lia noh."

"Siap mba boss."

Sudah jelas dua orang yang barusan meledekku bukan Lita, Lena, apalagi Dila.
Mereka adalah Ara dan Vina. Huft, benar-benar menyebalkan.

Diperparah dengan datangnya Sana. "Nih, Li! Botol buat calon suami kamu!" ujar Sana sambil menyodorkan sebotol minuman dingin.

"Aamiin."

Sumpah demi apa, aku bodoh sekali. Kenapa aku harus bilang aamiin? Itu ucapan reflek dariku. Haduh aku harus apa.

Sebenarnya tidak masalah jika hanya teman Gumshooter dan Helium yang mendengar. Masalahnya, di ujung sana ada Dimas dan teman-temannya sedang terpaku.

Dengan tatapan yang? Tajam?

*****

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang