20. Akhir

18 0 0
                                    

Inilah akhir dari cerita aku dan Dimas. Dimana semua seperti terlahir kembali.

Setelah naik kelas sembilan, aku lebih fokus belajar bersama sahabatku. Tidak ada lagi kata Dimas di dalamnya.

Oh iya, ada satu hal yang perlu aku ceritakan.

Aku nyaris menangis di tempat ketika Dimas dan Sita melewatiku sambil tertawa.

Hingga Dimas menghampiriku yang sedang tertunduk. "Hai." sapanya yang membuat aku mendongak menatapnya.

Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Aku Dimas. Kamu cantik, nama kamu siapa?"

Aku menatap uluran tangannya dengan bingung. Apakah laki-laki di hadapanku sedang kehilangan akal?

Bahkan yang membuat aku jadi merinding adalah ia tertawa. Sungguh ia sudah gila.

"Pasti kamu bingung tho, Li? Sama aku juga."

Muak. Lelaki itu sungguh memuakkan. Aku memilih untuk melangkah pergi meninggalkannya. Sampai ia kembali memanggil namaku dan....

"Aku terlalu sayang sama kamu Li. Sampai aku takut milikin kamu, karna aku takut kamu sakit gara-gara aku."

Aku membalikkan badan mengahadapnya dan berusaha menyela kalimat tak berguna itu.

"Dd---"
Tapi sepertinya, Dimas tak membiarkanku memotong perkataannya. Ah biarlah, aku pun ingin mendengarkan dia.

"Aku ngga punya keahlian apa-apa selain kata. Maaf kalau aku cuma bisa kasih kamu frasa dan ngga pernah membuktikannya. Bukannya aku ngga mau, tapi aku ngga tau."

"Tt---"

"Li, karena aku udah terlanjur buat kamu kecewa, sekarang aku balikin kebahagiaan kamu. Kita ulang semua dari awal sebelum kamu jatuh cinta sama aku. Tapi tolong ya, izinin pangeran bodoh ini buat tetep kenal Lia walaupun tanpa Ada cinta ."

Dimas berjalan mendekat ke arahku. Kemudian ia mengulurkan tangannya, "Ayo kenalan, temenan, tanpa membawa perasaan."

Aku tersenyum kecut. Meski tahu ini artinya tidak ada lagi katanya Lia-Dimas di dunia. Tapi, inilah yang terbaik. Merelakan lebih baik dari bertahan dengan penuh penyiksaan, bukan?

Aku pun mengulurkan tanganku dan menjabat tangan pria itu. "Hai, teman sekelas. Aku Lia."

*****

Seperti yang Dimas Mau, kami sekarang berteman tanpa perasaan. Tapi jangan harap pertemanan kami akan intens. Kami hanya sekadar menyapa dan bekerja sama jika dalam satu kelompok.

Teman biasa.

Bohong kalau aku katakan bahwa aku sudah sepenuhnya melupakan Dimas. Tapi ini semua proses bukan?

Oh iya, semua memang benar ada hikmahnya. Kini, teman-teman Dimas yang tadinya tidak suka padaku, menjadi temanku. Memang teman biasa, tetapi setidaknya kami akrab dan tidak saling membenci.

Hikmah lainnya adalah aku memiliki lebih banyak waktu untuk belajar dan sesekali bermain dengan sahabat-sahabatku. Sebelumnya, waktuku lebih banyak untuk menerka perasaan Dimas.

"Li, Papa kamu mau bicara."

Aku mengangguk kemudian mengikuti Mama turun dan menuju ruang tamu untuk menemui Papa.

Awalnya aku exited dengan kehadiran Papa yang hanya pulang setengah tahun sekali. Selain itu, biasanya Papa akan membawa banyak buah tangan untukku.

Tapi sepertinya aku harus mengubur dalam-dalam ekspektasi menyenangkan itu.

"Papa dan Mama mau bercerai."

Aku menatap mereka secara bergantian lalu melirik ke arah Oma yang sedang menangis.

"Kenapa?"

"Karena mama dan papa sud—"

"Kenapa Oma nangis?"

Tidak ada yang membuka suara. Aku memilih untuk mendekati Oma, "Oma kenapa?" tanyaku dengan berbisik seraya mengelus punggungnya.

Oma mengelus rambutku dengan lembut. Ia terlihat sedang menahan isakannya. "Oma cuma sedih, kalau harus berpisah sama kamu."

Aku kembali menatap kedua orang tuaku. Mama menunduk dan sangat terlihat bahunya naik turun, ia menangis. Sementara Papa memandang lurus dan tatapannya kosong.

"Sebenarnya ini ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba bercerai padahal Papa baru pulang? Lia nggak pernah denger kalian berantem."

Mama dengan air mata di pipinya memberanikan diri menatapku. "Mama sama Papa udah nggak baik-baik aja dari tahun lalu, tapi kami tutupin dari kamu dengan harapan semua bakal baik-baik aja." jelas Mama.

"Papa sudah di Semarang dari tiga bulan lalu, tapi kami mutusin buat pisah rumah biar sama-sama tenang. Maaf li, ternyata kami memang sudah ndak bisa bersama lagi."

Aku hanya mengangguk pelan dan berlari ke kamar. Aku sudah tidak ingin mendengar apapun tentang perceraian Mama dan Papa. Toh tidak akan membuat mereka berubah pikiran kan?

Semuanya memang telah berakhir. Tidak hanya cerita tentang Dimas yang berakhir, tetapi Mama dan Papa juga akan berakhir.

Dan berarti, kebahagiaanku telah terakhiri.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang