14. Hancur

21 2 0
                                    

Pada akhirnya, benteng pertahanan yang telah susah payah kubangun, runtuh sudah.

Untuk Dimas, aku berusaha bangkit
Namun justru ia balas dengan rasa sakit

Tak ada yang bisa kulakukan selain menikmati angin senja seraya mengayunkan ayunan ini perlahan.

"Li,"

"Hm?"

"I know your feeling"

Aku hanya tersenyum kecut mendengar kalimat Vina. Biasanya dengan bercerita, kesedihanku akan hilang. Namun kali ini tidak.

Dimas tidak hanya memporak-porandakan perasaanku. Ia juga membuat aku merasa menjadi wanita terbodoh di dunia ini.

"Jatuh cinta sama orang yang salah itu sakit, Vin. Sakit banget."

"I know, Li."

Semakin aku mengingatnya, semakin sulit aku membendung air mata ini. Hingga tangisku benar-benar pecah.

Aku malu, aku takut, aku Sakit, dan aku hancur.

"Jangan jatuhin dompet di depan aku! Tapi kalo kamu mau jatuh cinta sama aku rak po-po."

"Taruhannya udah selesai. Tapi perasaan aku ke kamu ga akan pernah selesai."

"Ketawa kamu emang paling bisa ngalahin pusingnya fisika. I love you"

"Pengen cubit ini tapi nanti nunggu halal."

Dan kalimat-kalimat itu pada akhirnya hanya menjadi kenangan semata.

Lupakan tentang Dimas, tentang janjinya, tentang kalimat 'i love you' darinya.

"Li,"

Aku menoleh ke arah wanita manado itu. Aku melihat raut wajahnya yang tampak merasa bersalah?

"Gue minta maaf, Li."

Aku semakin dibuat bingung dengan Vina. Ada apa ini? Aku hanya meresponnya dengan mengernyit. Masih belum membuka suara.

"Gue minta maaf karna gue udah lama jadi temen curhatnya Dimmy alias Dimas itu. Dan gue tau soal ini, Li."

"Maksud kamu?"

"Gue tau temen-temen Dimmy ga suka sama lo tapi gue ga cerita. Maaf."

Kemarin Dimas, sekarang Vina. Lalu esok akan ada siapa lagi yang akan memporak-porandakan perasaanku?

Kutinggalkan sebuah senyuman dan kemudian aku melenggang pergi tanpa melontarkan sepatah katapun.

Aku tahu Vina tidak sepenuhnya salah, bahkan ia tidak ada hubungannya dengan problem ini.

Tapi, aku sakit.
Dan semua orang harus tau itu.

*****

Tidak ada yang dapat kulakukan lagi selain menatap nanar roomchatku bersama lelaki itu.

Aku masih ingat betul bagaimana ia menggodaku.

Dan bagaimana aku mulai menitipkan hati yang pada akhirnya ia hancurkan begitu saja.

'Ting tong'

Aku berdecak malas. Siapa sih, yang hendak bertamu malam-malam? Sangat mengganggu kegalauanku saja.

"Hai"

Seorang lelaki jangkung dengan cengiran tanpa dosa sedang berdiri di hadapanku.

"Kenapa?!" Tentu saja aku berlaku kasar padanya. Bagaimana bisa aku tetap tersenyum untuk seseorang yang menjadi alasan air mataku jatuh.

"Kangen" ujar lelaki bodoh itu dengan senyum yang sama.

Tidak seperti biasanya aku menanggapi ujaran manis Dimas dengan senyuman tersipu. Kali ini, aku menanggapinya dengan

'Pyarr'

Tidak. Aku tidak menamparnya. Suara pecahan piring di dapur benar-benar mengejutkanku. Dan Dimas, mungkin.

Dimas melambai-lambaikan kelima jarinya di hadapan wajahku. "Hai, Liaa! Kagetnya sampe bengong gitu.", ujarnya.

Aku membuyarkan tatapan kosongku dan kembali menatap lelaki itu dengan tajam.

"Kamu kenapa sih, Li? Marah sama aku? Lagi rak mood? Lagi datang bulan? Opo piye?" tanya Dimas Bertubi-tubi.

Ingin sekali aku berteriak di telinganya bahwa aku begini karena dia. Menyebalkan sekali.

"Kok malah diem sih, sayang?" tanya Dimas lagi karena aku tak segera membuka suara. Dan kali ini dengan embel-embel sayang yang biasanya membuatku tersipu. Tapi tidak untuk saat ini.

Aku kembali diam. Namun kemudian aku sadar, jika aku terus diam, Dimas tidak akan pergi. Dengan begitu, aku akan terus melihat wajahnya. Dan akan membuatku semakin sakit.

"Kamu masih tanya aku kenapa? Kamu masih ga sadar kesalahan kamu apa? Kamu masih ga mikir kenapa aku bisa kayak gini?" tanyaku dengan nada getar.

Sulit bagiku menahan air mata yang menggenang di kantung mataku. Tapi Bagaimanapun, aku lelah jika harus terus menangis.

"Aku salah apa lagi sih, Li? Yang jelas tho"

Jawaban dari Dimas membuat kemarahanku semakin memuncak.
"G*LA YA KAMU! KAMU YANG DATENG KE AKU, BILANG SAYANG DULUAN, KASIH PERHATIAN, TERUS AKU GA BOLEH BAPER? AKU GAPAPA KALAU EMANG KAMU GA KASIH AKU KEPASTIAN. TAPI GA GINI CARANYA. DAN SEKARANG KAMU PURA-PURA GATAU LAGI. BODOH YA AKU PERNAH SAYANG SAMA KAMU!"

Rasanya, kalimat itu adalah kalimat terakhir yang akan aku lontarkan ke Dimas. Aku benar-benar tidak ingin melihatnya lagi. Aku benci Dimas. Benci.

Tak peduli di Luar sana hujan dan Dimas terus mengetuk pintu rumah yang kukunci. Intinya, aku tidak ingin mengenal Dimas lagi.

Tunggu, apakah Dimas benar-benar tidak tahu akan semua ini?

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang