8. Marah

28 2 0
                                    

Tidak peduli apapun intinya aku sedang marah dengan Dimas. Berani-beraninya ia meledekku karena masalah tadi.

Tidak hanya dengan Dimas, tapi juga dengan Vina. Setelah tahu maksud sebenarnya ia datang, jelas saja segera kuusir manusia itu.

Aku sedikit muak mendengar ucapan maaf Vina yang tidak ada berhentinya. Sedari bel istirahat berbunyi hingga bel masuk hendak berbunyi wanita itu tidak henti-hentinya mengucap maaf.

Seperti saat ini,

"Ayolah Lia cantiiikk, gua minta maap yaa." pinta Vina sambil merapatkan jari-jari tangannya di hadapanku.

Ingin rasanya aku membuang Vina ke laut. Gara-gara dia mencegatku, aku jadi tidak bisa pergi ke kantin.

Kan jadi tidak bisa melihat Dimas.

Bicara tentang Dimas, sepertinya ia tidak peduli dengan kemarahanku. Buktinya ia sama sekali tidak ada usaha seperti Vina ini.

"Liaa!!! Maafin ya!!!" Jeritan Vina membuyarkan lamunanku tentang Dimas. Bahkan aku sedikit terjengkit.

Pandanganku yang tadinya lurus, kutolehkan ke arah Vina yang masih setia memasang puppy eyes miliknya.

"Oke." jawabku singkat tanpa ekspresi.

Tapi namanya juga Vina, responnya pasti heboh. "Uyeyy!! Hip hip hurra! Makasih samyangqu!!! A lap yuu!!" jeritnya kemudian memelukku singkat.

Beruntungnya aku, karena setelahnya Vina beranjak pergi.
Akhirnya Lia bisa bernafas.

*****

Aku mengernyit heran melihat apa yang ada di hadapanku. Bucket bunga lengkap dengan sebungkus coklat dan sebuah amplop.

Aku rasa, aku hanya pergi ke kamar mandi sebentar.

Jika ini benar untukku, hebat sekali pengirimnya. Sepaket hadiah itu benar-benar ditata rapi dan ditutup dengan jaketku.
Aku saja tidak menyangka.

Karena sudah satu jam setelah bel pulang dibunyikan, kelas sudah sangat sepi dan hanya menyisakan aku.

Dengan langkah terburu-buru, aku memasukkan semua hadiah itu ke dalam tas ku dan beranjak pergi. Umm, aku sedikit takut sendirian. Hanya sedikit kok, hehe.

Sepanjang perjalanan bersama sopirku, yang terbayang dibenakku adalah hadiah ini dari Dimas.

Sebenarnya aku hendak membuka amplop tersebut di dalam mobil, tapi kuurungkan niatku. Sopirku lumayan cerewet. Bisa-bisa, aku diledeki setiap hari.

"Mbak Lia, wajahnya kok kebingungan gitu kenapa tho? Habis diputusin pacare, ya"

Nahkan, padahal belum apa-apa sopirku sudah menyebalkan. Aku hanya menggelengkan kepala sebagai respon.

Mungkin sebagian orang senang dengan sopirku yang friendly dan lucu. Tapi tidak denganku. Aku tidak suka terus menerus diajak berbicara. Bagiku, suasana yang tenang lebih menyenangkan.

*****

Akhirnya aku selesai mengerjakan semua tugas dari guru Matematikaku.

Tidak banyak, hanya sepuluh soal. Sayangnya setiap soal beranak cucu.

Ingat Matematika, jadi ingat masternya. Siapa lagi jika bukan Dimas.

Tapi ngomong-ngomong soal manusia itu, lebih tepatnya pangeranku. Apa dia tidak berusaha meminta maaf, ya?

Aku memilih untuk memeriksa ponselku dan melihat apakah ada chat dari Dimas

Baru saja buka aplikasi, sudah ada telefon darinya.

Angkat tidak, ya?

"Assalamualaikum, cantik"

"Waalaikumsalam"

"Masih marah ya?"

Tidak akan kujawab. Biarlah dia mengoceh. Intinya aku sedang marah. Kalau kata orang sunda mah, pundung.

"Duh bidadari masih marah ya?
Kentut lagi gapapa kok, yang penting jangan marah beb"

Nahkan manusia itu memang menyebalkaannn!! Tapi aku sayang.

"Yahh dikacangin. Kali gitu aku mau minta tolong sebentar boleh yaa?"

"Apa?!"

"Nyalain bluetooth dong!"

"Buat apa? Aneh!"

"Buat transfer hati aku ke kamu. Hehe. Receh ya. Gapapa deh yang penting kan sayang."

"Emang kamu sayang aku?"
Eh kok pertanyaanku jadi terkesan aneh seperti ini, ya? Menyesal aku mengatakannya.

"Ga."

Nahkan, aku jadi makin menyesal.

"Ga salah lagi, sayaaaaaanggg bangeettttt."

Mohon maaf Lia sudah tidak sadarkan diri.

*****

It's About LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang