2. Ikhwan Fahrezi Ramadhan

118K 12.2K 1K
                                    

Cinta yang belum seharusnya, biarlah menjadi rahasia. Tugas kita hanya bisa meminta pada Sang Pencipta, agar kelak bisa bersama.

💦

Ikhwan Fahrezi Ramadhan, biasa dipanggil Ikhwan, remaja yang baru saja beranjak 19 tahun. Ia duduk di bangku kelas 3 SMA. Anak tunggal dari keluarga yang serba berkecukupan. Dia tinggal bersama ibu dan neneknya. Ayahnya meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, ibunya mulai sakit-sakitan.

Seharusnya, Ikhwan melanjutkan sekolahnya di pondok pesantren. Tapi karena dia adalah satu-satunya anggota laki-laki dalam keluarga yang kondisinya kurang baik, dia mengurungkan niat itu dan memilih untuk masuk ke sekolah Negeri yang ada di Jakarta agar bisa menjaga keluarga kecilnya. Karena kalau di pondok, ia hanya bisa pulang beberapa kali saja dalam sebulan.

Mengenai fisiknya, Ikhwan termasuk dalam kategori tampan. Kulitnya bersih, berwarna kuning kecoklatan. Tubuhnya tinggi dengan bahu lebar yang membuatnya terlihat gagah. Tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. Rambutnya hitam legam. Parasnya meneduhkan dan senyumnya enak dipandang. Alis tebalnya membuat Ikhwan terlihat tegas, terutama jika ia sedang serius mengerjakan sesuatu. Tidak heran kalau banyak siswi yang selalu berusaha menarik perhatiannya. Namun sungguh Ikhwan tidak tertarik sedikitpun. Ia sudah terbiasa menjaga pandangan.

Kecuali terhadap satu orang. Entah berapa kali ia ber-istighfar tatkala kepalanya terangkat dan matanya tertuju pada satu fokus yang tidak seharusnya. Ikhwan tau ada yang salah dengan apa yang dirasakannya. Ia sudah berusaha menyingkirkannya selama dua tahun, namun tak kunjung hilang. Kalau saja dirinya berada di pondok, pasti lebih mudah menjaga pandangan karena area laki-laki dan perempuan dibedakan, tidak dicampur aduk seperti di sekolahnya sekarang.

Laki-laki itu menghela napas berat tepat ketika dirinya sudah duduk di sebelah laki-laki yang sibuk dengan ponselnya. Namun laki-laki bernama Febrian yang lebih sering dipanggil Febri itu menyempatkan diri untuk bertanya pada teman sebangkunya.

"Toiletnya pindah ke Bandung, yah?" pertanyaan tidak berfaedah.

Ikhwan terkekeh geli.

"Malah ketawa. Lagian ke kamar mandi aja lama banget."

Memang tujuan Ikhwan keluar kelas adalah kamar mandi. Tapi, ketika melihat seorang gadis yang nampak kewalahan, ia dengan sengaja membantunya setelah memperhatikannya cukup lama dari arah belakang dengan jarak yang cukup jauh.

"Gue mau curiga kalo lo mojok, tapi gak mungkin. Gue malah lebih percaya kalo lo diculik cabe-cabean sekolah."

Lagi-lagi ikhwan terkekeh. Ia memang bukan tipikal laki-laki yang pelit tertawa atau tersenyum. Sosoknya ramah pada semua orang. Hanya saja jika dengan perempuan, ia membatasi interaksinya. Sedikit senyum rasanya sudah cukup untuk menghindari kesalah pahaman.

"Gurunya belum masuk juga?"

Febri mengedikkan bahu. "Mungkin kejebak macet di koridor."

Ikhwan sudah tak heran dengan segala macam jawaban nyeleneh satu-satunya sahabat dekatnya ini. Hampir tiga tahun satu kelas dan duduk sebangku dengan Febri membuat hidupnya terasa lebih berwarna meski tanpa wanita.

Ikhwan membuka tasnya, mengeluarkan sesuatu yang sudah sangat Febrian hafal. Febrian melirik sekilas, lalu kembali fokus dengan game-nya. Dan ia juga tau apa yang akan dikatakan Ikhwan selanjutnya.

"Daripada main game, mending baca Al-Qur'an." Febrian yang berkata seperti itu. Ikhwan tersenyum simpul mendengarnya.

"Udah hapal banget gue mau bilang apa," ujarnya, yang kemudian melihat Febrian meletakkan ponselnya ke atas meja.

Ikhwan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang