14. Hidayah

60.7K 8.2K 208
                                        

Jangan sia-siakan kesempatan di dunia untuk tidak memperbaiki diri. Karena di akhirat nanti, tak ada kesempatan untuk kembali, meski kamu memohon dengan lirih.

Hidayah itu dijemput, bukan ditunggu. Hidayah itu dicari, bukan dinanti.

💦

“Bun.”

Gadis itu memanggil ragu. Wanita paruh baya yang sedang mengisi piring dengan masakannya itu bergumam menjawabnya.

“Bunda pake jilbab sejak kapan?” itulah pertanyaan yang dilontarkan Zahra pada sang bunda yang memang mengenakan jilbab besar di setiap harinya.

“Sejak kuliah. Kenapa tanya-tanya? Mau pake juga? Bagus itu. Bunda kan udah nyuruh dari lama.”

Zahra sudah tau resiko membicarakan hal ini. Ya, tentu saja bundanya akan bicara panjang lebar bahkan sebelum Zahra bertanya lebih banyak.

“Kamunya aja kebanyakan alesan. Panas lah. Ribet lah. Nanti tuh, di neraka lebih panas, lebih ribet. Nyesel tapi udah gak ada kesempatan lagi.”

Biasanya Zahra akan pergi jika bundanya sudah membicarakan neraka dan azab-azab lainnya. Tapi kali ini ia tetap duduk di tempatnya dan berusaha untuk mendengarkan. Risa, ibunda Zahra, kini membawa piring-piring berisi makanan itu untuk ia letakkan di atas meja, bersiap untuk makan malam.

“Zahra tadi pagi ketemu temen. Namanya Ikhwan.”

“Laki-laki?”

“Ya masa Ikhwan perempuan sih, Bun.”

“Siapa dia? Kenapa ketemu-ketemu anak Bunda?”

Zahra sudah tau kalau sifat posesif Reyhan didapat dari bunda nya ini.

“Temen sekolah, Bun. Kan tadi pagi Zahra pergi ke rumah sakit sama abang. Ikhwan itu sahabatnya orang yang bantu Zahra yang namanya Febrian. Jadi dia nemenin Febrian di rumah sakit.”

Barulah kini Risa ber-oh tanpa suara. Zahra pun melanjutkan bercerita.

“Ikhwan itu orangnya ngerti agama. Kata Febrian, jebolan pondok pesantren. Jadi, Zahra tanya sama dia, tentang perempuan yang gak pake jilbab.”

Risa sudah duduk pada kursi di hadapan Zahra. Ia mendengarkan dengan serius curhatan putrinya ini.

“Terus, apa katanya?”

Zahra menunduk, mungkin malu pada dirinya sendiri. “katanya wajib. Kalo gak pake jilbab, nanti masuk neraka. Terus kalo Zahra masuk neraka, nanti Zahra juga bakal nyeret ayah, kak Reyhan sama Haikal, sama suami Zahra nanti.”

Haikal adalah adik lelaki Zahra. Risa tersenyum tipis. Dari nada suara Zahra yang terdengar begitu bersalah, Risa tau kalau putrinya ini telah menyadari sesuatu dan sedang berusaha mencari jalan yang benar.

“Terus, kenapa Zahra belum pake jilbab?”

Gadis itu mengangkat wajahnya. Ternyata kedua bola matanya berkaca-kaca. Risa yang melihat itu segera bangkit dan mendekatinya. Dan detik ketika ia berdiri di sebelah Zahra, putrinya itu langsung memeluknya. Menangis begitu lirih.

“Ternyata selama ini Zahra jahat sama ayah, sama bang Reyhan, sama Haikal. Zahra masukin mereka ke neraka.”

Gadis itu sesenggukan. Tangisnya semakin menjadi, mengundang para penghuni lainnya mendekat dan menanyai perihal keadannya.

“Zahra kenapa?” Reyhan bertanya lebih dulu.

“Dapet hidayah,” kata Risa, dengan gerakan bibirnya tanpa suara.

Fatir, ayah Zahra mengangkat kedua alisnya tak mengerti.

“Zahra mau pake kerudung,” gadis yang masih menangis itu bergumam.

Fatir juga Reyhan kini sudah mengerti dengan apa yang terjadi dan bersyukur di dalam hati. Mereka pun tersenyum. Lain halnya dengan bocah lelaki berusia empat tahun yang berada di gendongan Reyhan. Ia hanya menatap bingung kepada setiap orang di ruangan itu.

💦

Memasuki rumah setelah mengucap salam. Ia menemukan seseorang di ruang keluarga sedang duduk di kursi dan menonton televisi. Lalu ia kembali mengucap salam agar dijawab, sambil berjalan mendekat.

“Nenek udah makan?” tanyanya ketika ikut bergabung duduk di sebelah wanita tua itu. Ia pun meletakkan bingkisan yang dibawanya ke atas meja.

“Loh, kok pulang? Kabarnya Ian gimana?”

Ikhwan tersenyum. Bukannya menjawab pertanyaanya, neneknya ini malah menanyai perihal Febrian.

“Udah mendingan, Nek. Lagian disana juga banyak suster.”

Miya pun menganggukkan kepalanya.

“Nenek udah makan?”

“Wan, Nenek boleh minta sesuatu sama kamu?”

Pertanyaan Ikhwan belum juga dijawab. Miya malah ingin membicarakan hal lain.

“Nenek minta apa? Insya Allah, bisa Ikhwan usahain.”

Miya tersenyum. Bukan senyuman nampak bahagia, namun juga tidak terlihat bersedih. Perasaan Ikhwan sudah tak enak perihal ini.

“Nenek sendirian di rumah. Ikhwan sekolah, kalo pulang pasti selalu malem karena pergi ke toko dulu.”

Ikhwan merasa tertampar mendengar hal itu dari Miya langsung. Ia baru menyadarinya. Benar-benar terlalu banyak pikiran yang menghinggapi Ikhwan akhir-akhir. Sampai ia tak sempat memikirkan apa yang Miya ucapkan.

“Nek, maafin Ikhwan,” ucapnya tulus.

“Gak papa, sayang. Nenek ngerti kalo itu yang emang harus Ikhwan lakuin. Belum lagi, Ikhwan harus ngurusin Nenek. Masak buat Nenek pagi sama malem. Karena itu, Nenek minta sesuatu sama Ikhwan.”

“Apapun pasti Ikhwan kasih.”

Miya tak yakin Ikhwan akan langsung mengiyakan permintaanya. Ia harus memberi alasan dulu. “Beberapa hari lalu, Nenek kunjungin temen Nenek di panti jompo. Katanya disana enak. Banyak temen. Ada yang ngurusin. Banyak kegiatan. Mau makan juga ada yang nyiapin.”

“Nek?”

Miya tidak menggubris. Ia melanjutkan ucapannya, “kalo boleh, Nenek minta sama Ikhwan buat tinggal disana. Jadi kan Ikhwan gak perlu urusin nenek lagi. Nenek juga gak kesepian di rumah.”

Ikhwan menunduk. Miya menangkup wajah Ikhwan agar lelaki tegak kembali.

“Nenek tau pasti berat buat Ikhwan. Tapi ini buat kebaikan kita berdua. Ikhwan kan masih bisa kunjungin Nenek.”

Ikhwan mencoba untuk tersenyum. Lalu mengangguk. Apapun, untuk membuat satu-satunya keluarga yang ia miliki bahagia. Toh, Ikhwan memang tak bisa berjanji untuk menemani Miya setiap hari di rumah. Ia harus sekolah. Harus belajar. Harus bekerja. Sangat sedikit waktu luangnya. Dan ia yakin kalau Miya memang sangat merasa kesepian di hari tuanya ini.

Sekali lagi cobaan yang ia hadapi. Ikhwan senang, karena Allah tau kalau dirinya begitu kuat menghadapi seluruh musibah yang diberi-Nya. Allah percaya padanya.














Publish
24 Juni 2019

Republish
8 Mei 2020

Ikhwan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang