7. Sepucuk surat

80.4K 9.9K 859
                                        

Minta maaf tak menunjukkan kalau kita yang paling rendah. Minta maaf tak selalu menunjukkan kalau kita lah yang bersalah. Orang-orang yang berani meminta maaf padahal belum tentu ia melakukan kesalahan, bisa jadi dia adalah orang yang mulia, sama halnya dengan orang yang memaafkan.

💦

Ikhwan merogoh laci mejanya. Bukan hal asing lagi jika ia menemukan setumpuk kertas lengkap dengan beberapa coklat juga kue di dalamnya. Padahal setiap hari, ia selalu membersihkan hingga tidak ada yang tersisa. Tapi keesokannya, kolong meja itu akan kembali terisi seakan tidak akan pernah letih orang-orang yang menaruhnya.

Sekitar setahun lalu, laci meja Febrian juga begitu. Tapi, karena dia orangnya tidak sesabar Ikhwan. Ketika ia sudah lelah membersihkan segala bentuk macam benda yang menurutnya tidak berguna, Febrian murka. Ia mengancam siapa saja yang menaruh kertas, coklat beserta hal lainnya di kolong meja miliknya. Sungguh, Febrian hanya takut ia akan goyah. Dia sedang berusaha untuk terus berada di jalan yang benar.

Kalau setiap hari dapat surat, lalu ia membacanya, bisa jadi dirinya penasaran dengan salah satu pengirim. Lalu bagaimana kalau yang menulis suratnya ternyata cantik. Pasti Febrian akan lemah hatinya. Na'udzubillah. Jadi bagi Febrian, lebih baik mencegah daripada terlanjur jatuh cinta.

Kalau Ikhwan, ia lebih memilih membiarkan saja. Ia buang suratnya, mengambil makanannya untuk dibagikan ke orang yang lebih membutuhkan. Bukankah seperti itu lebih berguna?!

Tapi kali ini, ada yang mencolok dari salah satu enam kertas yang ia temukan di laci mejanya. Kertas berwarna hitam yang dilipat menyerupai kapal-kapalan. Hati Ikhwan tergerak untuk mengambilnya.

“Tumben,” celetuk Febrian ketika melihat Ikhwan hendak membuka lipatan itu. Mungkin maksud Febrian, tumben Ikhwan penasaran dan ingin membaca surat tersebut. Padahal sudah dapat ditebak isinya.

Febrian pernah iseng membaca satu persatu surat milik Ikhwan. Kebanyakan dari mereka, ingin ta'aruf dengan Ikhwan. Febrian tergelak kala itu. Ia yakin orang-orang yang menulisnya bahkan tak mengerti bagaimana caranya berta'aruf. Sebenarnya mereka hanya ingin dekat dengan Ikhwan. Syukur-syukur bisa pacaran. Ada udang di balik bakwan.

Ikhwan hendak meletakkannya kembali karena ucapan Febrian itu. Tapi setelah ditaruh di atas meja, Febrian malah mengambilnya. “Udah terlanjur diambil. Sekalian aja dibaca. Lagian ini kertasnya beda. Warna item loh. Biasanya warna pink kalo gak putih, atau biru. Mungkin isinya juga beda dari yang lainnya.”

Ikhwan hanya mengedikkan bahunya. Mau apapun isi dari tulisannya, takkan berdampak apapun pada dirinya, kan?!

“Assalamu'alaikum,” Febrian mulai membaca. Ikhwan membalas salam itu karena Febrian mengucapkannya. Kemudian lelaki itu melanjutkan.

“Dari Azzahra Putrilia Mawardi.”

Deg

Ikhwan salah. Harusnya ia tidak menerka-nerka seperti tadi. Karena kini, ada dampak dalam setiap detak jantung dan denyut nadi.

Ikhwan, saya mau minta maaf.”

Ikhwan menahan diri untuk tidak mengambil surat itu dan membacanya sendiri. Tapi apa dikata, ketika tangannya seakan bergerak sendiri untuk mengambil kertasnya dari Febrian.

“Wah, tanda-tanda kekhilafan nih.”

“Gue cuma mau baca,” kilahnya.

Febrian hanya tersenyum. Sedangkan Ikhwan, mulai fokus membaca setiap kata yang ditulis dengan tinta putih di atas kertas hitam itu.

Ikhwan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang