17. Kepasrahan

64K 8.3K 465
                                        

Kalau jodoh, ya alhamdulillah. Kalau tidak, percayalah jika Allah adalah penulis skenario terbaik bagi setiap kehidupan hambanya.

💦

Sore menjelang. Ikhwan masih berada di rumah sakit. Karena memang Febrian hanya punya Ikhwan untuk menemaninya. Di ruangan itu kini hanya ada Febrian dan Ikhwan. Zahra dan Kiya tentu sudah pulang. Mereka tidak berlama-lama di sana. Lagipula memang tidak baik bersama dalam satu ruangan dengan yang bukan mahramnya.

Dan karena di ruangan itu mereka hanya berdua, kini Febrian jadi leluasa untuk menyampaikan apa yang ada di pikirannya.

“Sekarang udah berani kasih kode-kodean,” katanya, yang sudah jelas terdengar menyindir.

Ikhwan yang berbaring pada sofa dan sedang membaca sesuatu di ponselnya hanya melirik dan kemudian pura-pura tidak mendengar itu.

“Zahra peka loh orangnya. Gue cuma bilang belum makan karena makanan rumah sakit kurang enak aja dia langsung bawain makanan.”

“Alhamdulillah.” Ya, Ikhwan menyahuti kalimat Febrian yang itu.

“Lo bersyukur karena Zahra peka? Atau karena dia bawa makanan?”

“Dua-duanya.”

“Serius?”

“Yang pertama lebih gue syukurin.”

Febrian mendengus. Ia sudah yakin dengan jawaban itu.

“Lo ngapain sih?” tanyanya kemudian, karena sedari tadi Ikhwan tak lepas dari ponselnya.

“Belajar. Tiga minggu lagi ulangan akhir semester.”

“Masih lama kali.”

Prepare. Emangnya lo, belajar pas malem sebelum ulangan doang.”

“Kan biar gak lupa. Kalo belajarnya dari sekarang, nanti gue lupa.”

Ikhwan hanya bergumam. Bukannya tidak mau menasehati Febrian. Malah sudah dua tahun lebih ia mengulang-ngulang nasehatnya agar Febrian belajar jauh-jauh hari sebelum menghadapi ulangan. Tapi untuk hal yang satu ini, Febrian benar-benar keras kepala. Baiklah, katakan saja kalau dia malas.

Kegiatan belajar Ikhwan terganggu ketika ponselnya berdering dan tertera nama Mas Adi di layarnya. Lelaki itu segera terduduk dan menjawab panggilannya.

“Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam. Ada apa, Mas?”

“Kamu lagi dimana, Wan?”

“Ikhwan lagi di rumah sakit.”

“Kamu sakit?”

“Bukan Ikhwan yang sakit. Febrian.”

“Febrian sakit apa?”

“Jatoh dari motor beberapa hari lalu.”

“Innalillahi, yaudah nanti Mas kesana. Tapi sebelumnya kamu pulang dulu. Mas sama Mbak Anggun udah di depan rumah, tapi pintunya dikunci.”

“Loh, Mas udah di rumah. Kenapa gak bilang Ikhwan kalo mau dateng?”

“Mas kira kan kamu ada di rumah.”

“Yaudah, Ikhwan pulang sekarang yah. Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Ikhwan langsung berdiri setelah menutup panggilan telfonnya.

“Feb, gue balik dulu, yah.”

“Ada Mas Adi di rumah?”

“Iyah.”

Ikhwan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang