Miyoung dengan rajin mengikuti terapi penyembuhan traumanya. Setiap dua hari, ia datang untuk kontrol ke rumah sakit. Ia juga menjenguk Jeno yang sampai saat ini enggan membuka matanya. Jeno masih dalam keadaan koma dua minggu ini. Hari ini, kunjungan kedelapan kalinya Miyoung ke Jeno. Miyoung menangis karena melihat wajah Jeno yang seakan hanya tidur di atas ranjang rumah sakit. Miyoung sangat berharap Jeno segera sadar dari komanya.
"Aku merindukanmu Lee Jeno. Aku rindu sikap dinginmu, aku rindu asap aroma permen karet dari rokokmu, aku rindu kefrontalan mu dalam mengungkapkan rasa sayangmu. Aku rindu itu semua. Aku takut kehilanganmu." Miyoung tak kuasa menahan air matanya agar tak jatuh. Namun, bulir-bulir air mata tetap mengalir ke pipi mulusnya.
"Sebentar lagi kita akan menghadiri acara kelulusan, kuharap kau bisa menemani aku." kata Miyoung.
Miyoung membuka sedikit baju perawatan Jeno yang memang tidak dikancingkan. Miyoung melihat perban yang menutupi luka tusuk di perut Jeno. Cukup besar dan kemungkinan dalam. Ini yang membuat Jeno masih tak sadarkan diri. Miyoung mengusap sekitar luka tusuk itu dengan perlahan. Tubuh Jeno megejang sebentar seakan memberi respon kegelian. Miyoung mendekati area wajah Jeno dan memastikan Jeno masih bernapas.
Miyoung lega karena Jeno bukan menegang sebab meregang nyawa, tetapi hanya karena sensor motorik yang masih bagus. Miyoung tersenyum dan mencium kening indah Jeno sebelum akhirnya keluar dari ruang perawatan. Miyoung masih cukup sabar untuk menunggu Jeno bangun.
"Bagaimana? Ada perkembangan?" tanya Doyoung.
Miyoung menggeleng. Di tangannya, ada dua lembar laporan nilai. Itu adalah laporan nilai ujian akhir yang dua minggu lalu mereka hadapi. Jajaran nilai A menghiasi dua lembar itu. Hanya ada satu huruf B dalam kertas laporan atas nama Lee Jeno.
Begitu mengejutkannya, ketika Miyoung mendapatkan posisi pertama dalam peringkat pararel, Jeno menyusulnya di posisi ke-dua. Banyak yang tidak menduga kepintaran Jeno dengan tingkat integritas yang tinggi juga.
"Jeno, Dia harus tahu kalau dia bintang sekolah yang sebenarnya." kata Miyoung yang langsung menyimpan kertas laporan nilai ke dalam buku khusus miliknya. "Bagaimana keadaan Taeyong? Dia juga sudah pulih?"
"Sedikit lebih baik, dia sudah mengingat beberapa hal. Sebelumnya dia seperti orang amnesia." jawab Doyoung diiringi helaan napas yang cukup kasar. "Ayo kita pulang, kondisi ayah semakin memprihatinkan." Doyoung menggandeng Miyoung menuju ke area parkir mobil.
***
Minseok mengalami hari yang cukup sulit semenjak dirinya divonis gagal ginjal beberapa hari lalu. Beliau tidak ingin makan, hanya termenung di dalam rumah, sesekali, beliau juga mengingat mendiang istrinya, Yoona. Doyoung memang telah mengambil alih kepemimpinan perusahaan Kim karena ini.
"Ayah, izinkan aku memegang perusahaan fashion milik ibu. Aku janji akan tetap melanjutkan pendidikanku selama memegangnya." kata Miyoung ketika menemui Minseok.
"Tentu saja, butik dan segala isinya milikmu sekarang. Ayah yakin kamu sudah bisa mengelolanya." jawab Minseok.
"Istirahatlah ayah, ayah pasti lelah. Ayo, Miyoung antar ayah ke kamar." kata Miyoung yang menemani Minseok masuk ke kamarnya.
"Ayah harap, kamu bisa menjaga perusahaan bersama kakakmu. Ayah tidak sanggup lagi." kata Minseok.
"Sudah ya Ayah, ayah istirahat saja. Selamat malam ayah." kata Miyoung.
Tanpa Miyoung sadari itu adalah ucapan selamat malam yang terlontar dari mulutnya untuk Minseok yang terakhir kalinya.
***
"TUAN MUDA! NONA! TUAN MUDA! NONA!" teriak salah satu maid yang biasanya datang paling pagi ke rumah. Ia tampak begitu panik dan kalut.
"Ada apa bibi? Mengapa bibi panik sekali?" tanya Miyoung yang mencoba meredam kepanikan maid itu.
"Tuan besar nona... Tuan besar..." maid yang dipanggil "bibi" oleh Miyoung itu kehabisan kata-kata.
"Ayah? Apa yang terjadi?" Miyoung langsung berlari menuju kamar Minseok secepat kilat. Disusul oleh Doyoung yang juga panik.
Miyoung langsung mendekati ranjang king size milik Minseok. Miyoung tak berani mendekat. Minseok seperti masih tertidur pulas. Berbeda dengan Doyoung yang langsung mendekati Minseok dan mengecek sekujur tubuh Minseok yang... terbujur kaku. Doyoung sempat tak percaya kalau tubuh sang ayah sudah benar-benar dingin dan tak ada denyut. Deru napas pun juga sudah tidak ada.
Doyoung menjauh dan membungkukkan badannya sebagai penghormatan terakhirnya. Miyoung bingung dan mendekati Minseok, ia langsung menangis karena Minseok telah pergi untuk selamanya.
"Ayah... Kenapa ayah tinggalkan Miyoung? Kenapa Ayah lebih memilih menyusul ibu... Ayaaaah... Bangunlah..." Miyoung tak terima.
"Sudahlah Mi, biarkan ayah tenang dalam istirahatnya. Kau harus merelakan ayah pergi." Doyoung mendekati Miyoung dan menariknya dalam peluk.
"Tapi kak... Ayah..." Miyoung tak bisa melanjutkan kalimatnya sendiri.
"Iya, kakak tahu. Beri salam hormat terakhirmu pada ayah sekarang ya?" Doyoung memposisikan Miyoung menghadap Minseok dan memberi salam penghormatan terakhirnya.
Saat memberi penghormatan terakhirnya, Miyoung tak bisa menahan air matanya dan tubuhnya bergetar hebat. Miyoung langsung meninggalkan kamar. Miyoung pergi ke pinggir kolam renangnya untuk menenangkan diri.
***
Tamu tamu pelayat silih berganti berdatangan dan sebagian besar dari mereka tak pulang hingga prosesi pemakaman. Termasuk Jaemin, Renjun, Herin, Yangyang, Donghyuck yang merupakan teman Miyoung. Jaemin agak janggal karena sedari tadi orang yang ia cari belum terlihat. Jaemin berinisiatif mencari Miyoung di sekeliling rumah.
Jaemin diikuti Herin dan Renjun mencari keberadaan tuan rumah yang tengah berduka itu. Jaemin melihat seseorang berdress hitam lengan panjang sedang duduk termenung di balik pintu yang menghadap taman. Perempuan itu bermain air kolam renang dengan tatapan yang sepertinya kosong. Jaemin tahu itu pasti Miyoung.
"Miyoung..." panggil Jaemin.
"Jen... Ah... Jaemin." Miyoung kembali tertunduk.
"aku tahu kamu pasti memikirkan Jeno. Kenapa kau tak ada di depan peti ayahmu untuk mengantarnya?" tanya Jaemin.
Dengan balutan kaus turtleneck hitam yang dipadukan setelan jas dan celana panjang, juga sepatu hitam yang mengilap, Jaemin tampak berbeda. Miyoung menatap Jaemin lalu tersenyum.
"Aku belum bisa merelakan ayah pergi. Hanya ayah yang aku punya." kata Miyoung.
"Kamu ingat, kamu masih punya kakakmu. Kamu juga punya Jeno, dan kami." kata Renjun yang berdiri di belakang Jaemin.
"Berdirilah, antarkan ayahmu ke peristirahatan terakhirnya. Setelah itu kita temui Jeno." Jaemin menarik tubuh Miyoung agar berdiri.
Miyoung dengan dikawal Jaemin dan Renjun yang berpakaian sama masuk ke ruang duka. Peti Minseok sudah siap diangkat. Jaemin dan Renjun diminta untuk ikut mengangkat peti tersebut. Miyoung tersenyum tipis melihat teman-temannya itu.
"Miyoung, kamu seharusnya bisa lebih hebat dari dirimu sekarang. Buktikan ke ayahmu, kalau kamu adalah wanita yang memang kuat. Bukan wanita yang lemah dan terlalu bergantung pada pria manapun." bisik Donghae.
"Iya, Samcheon..." jawab Miyoung.
"Jangan panggil aku paman, Miyoung. Sekarang panggil saja Ayah. Kamu sudah seperti anakku sendiri." kata Donghae.
"I..iya Ayah." Miyoung tersenyum.
****
Semakin gajelas yorobun
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy (Lee Jeno)
Fanfikce[Finished(+bonchapt)] Urakan tapi cerdas? Apa mungkin? Cerdas tapi bodoh dalam hal cinta? Bisa saja terjadi. Lee Jeno, seorang anak yang rusak karena rumah tangga orang tuanya berantakan. Di sisi lain sebenarnya ia adalah anak yang cerdas dalam bid...