sepuluh

6.7K 513 0
                                        

Taeyong sudah diperkenankan pulang oleh pihak rumah sakit. Begitu ia tiba di rumah, ia mendapatkan hadiah yang sangat tak terduga. Dua tamparan beruntun dari dua wanita yang pernah ia ajak jalan sebelum ini. Jisoo dan Wendy datang bersama untuk membuat Taeyong jera.

Taeyong hanya bisa menerimanya dengan pasrah. Ia tahu ini memang salahnya. Tamparan itu memang alat penyadar dirinya dari semua kekhilafannya soal wanita.

Taeyong perlahan mulai sadar, sejak kehadiran Jaejoong ia hanya berfokus pada harta, takhta, wanita. Banyak wanita yang perlahan mendekatinya karena ia punya posisi sebagai pewaris utama perusahaan ayahnya. Hartanya tak perlu ditanyakan lagi, jajaran Audi dan Lamborghini memenuhi garasinya. Tak butuh puluhan, beberapa saja sudah menampakkan bagaimana kekayaannya itu. Tapi itu hanyalah kebahagiaan sesaat, karena kini wanita-wanita yang ia sukai semuanya menjauh.

"Taeyong, kemana saja kamu nak?" Taeyeon memeluk putranya itu erat.

"Maaf, Bu. Aku ada di rumah sakit seminggu ini. Kalau bukan karena ayah, mungkin aku sudah mati di ruang bawah tanah rumah kita ini." Taeyong menginjak tanah dimana letak kira-kira ruang bawah tanah tersebut.

"D...Donghae??" Taeyeon terkejut ketika melihat sosok mantan suaminya berdiri di belakang Taeyong. "Di mana Jeno?"

"Sedang mengantar kekasihnya pulang. Kekasihnya juga di rawat di rumah sakit yang sama dengan Taeyong. Kekasih Jeno terluka karena tinjuan Taeyong." jelas Donghae.

"Ayah, itu tidak sengaja terjadi. Aku tadinya ingin menghajar Je..." Taeyong berhenti berbicara.

"Kau ingin menghajar siapa? Katakan sekali lagi." paksa Donghae.

"Aku ingin menghajar Jeno waktu itu, karena aku rasa dia merebut Miyoung dariku. Tapi aku sadar, Miyoung lebih pantas bersama Jeno. "  kata Taeyong.

Jeno yang baru saja tiba dengan motornya hanya menatap kedua orang tuanya asyik bercengkrama dengan Taeyong. Bukannya ia tak bisa melakukannya juga, ini alasan gengsi karena sebenarnya ia malas bertemu Taeyong. Rasa benci terhadap kakaknya belum bisa hilang meskipun ia tahu Taeyong seharusnya memang dilindungi, bukan melindungi.

Jeno langsung masuk ke area rumah tanpa mengindahkan mereka bertiga. Jeno hanya ingin perhatian kedua orang tuanya benar-benar tercurah hanya untuk dirinya. Jeno merasa kalau dirinya jauh dari orang tuanya sejak memilih untuk sering pergi dari rumah. Memang ini salahnya, tetapi ia terlalu gengsi untuk mengubah dan mengulangnya dari awal.

"Lee Jeno." panggil wanita yang ia kenal sebagai ibunya.

"Ada apa Bu?" tanya Jeno berusaha peduli.

"Kata ayahmu, kau ikut olimpiade. Mengapa tidak mengatakannya pada ibu?" tanya Taeyeon.

"Jika ayah tak mengatakannya, apa ibu juga peduli dan langsung bertanya padaku?" Jeno ketus.

"Maafkan ibu, Jen. Sebenarnya ibu sudah berusaha peduli padamu. Ayah tirimu, yang memaksa ibu seolah tak peduli. Setiap kali kau nakal, ibu sebenarnya merasa sakit." ujar Taeyeon.

"Ibu pasti berbohong." Jeno langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.

"Lee Jeno." Taeyeon membuka pintu dengan kunci cadangan di tangannya. "Ibu tidak akan pernah berbohong."

"Lalu apa semua yang kemarin-kemarin aku lihat? Bahagia dekat dengan Jaejoong? Dusta? Sama saja. Ibu tidak pernah bahagia dengan ayah baru. Tapi ibu selalu berusaha terlihat bahagia. Kalau ibu masih mencintai Ayah Donghae, mengapa ibu tidak memberontak dan kembali? Aku lebih suka jika ibu berani seperti itu."

Taeyeon tercekat. Kali ini, putra bungsunya benar. Ia terlalu takut pada Jaejoong. 

***

Miyoung terdiam menatap karpet beludru di ruang tengah rumahnya. Sebuah kesunyian yang nyata karena memang hanya ada di sana. Di otaknya terus terputar bagaimana ramainya rumah itu ketika ada Jeno. Terlebih ketika belajar bersama di dalam kamar malam itu. Tampak sangat mengasyikan. Ia ingat bagaimana sosok kasar Lee Jeno bisa berubah drastis di hadapannya.

Bad Boy (Lee Jeno)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang