"Kita perlu bicara." Afgan menyusul Arsen yang sedang berjalan di koridor kelas 11. Kemudian Afgan mengambil langkah lebar, menuntun Arsen ke tempat yang lebih sepi.
Arsen menghela napas. Menatap datar pada punggung Afgan yang berjalan di depannya. Terkadang Arsen bertanya-tanya dalam hati, kenapa dulu ia bisa berteman akrab dengan orang seperti Afgan? Jika dilihat dari pribadi, jelas mereka sangat bertolak belakang.
"Apa mau lo?" tanya Arsen sesampainya mereka di taman belakang laboratorium kimia. Taman ini jarang di kunjungi para murid, sebab letaknnya yang jauh ke belakang, dan sedikit tidak terurus.
"Lo mau mempermalukan gue di depan Ridho sama Bayu?!" tanya Afgan to the point.
Arsen mendecih. "Lo masih punya malu ternyata."
"Jangan macam-macam sama gue, Arsen! Gue nggak sepolos yang ada dibayangan lo. Gue anak dari seorang napi, bokap gue sekarang ada di penjara. Lo pernah dengar istilah bahwa buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya, bukan?"
Arsen menatap pada Afgan dengan pandangan curiga. "Siapa lo sebenarnya?!" tanya Arsen.
"Lo nggak perlu tahu! Yang pasti jangan macam-macam sama gue. Jangan permalukan gue. Dan jangan dekati Amanda!" ancam Afgan.
"Lo manusia berbahaya! Nggak akan gue biarkan orang-orang terdekat gue sakit hati karena lo," balas Arsen tak mau kalah.
Tatapan Afgan menajam. Satu ujung bibirnya tertarik ke atas. "Apa orang-orang itu termasuk Amanda? Lo suka sama pacar gue?!"
"Iya!" lugas Arsen dengan spontan.
"Kurang ajar!" amuk Afgan. Kaki kirinya mengayun untuk menendang perut Arsen.
"Ahh," desah Arsen kesakitan. Ia terpantal ke belakang. Perutnya terasa keram.
Napas Afgan memburu. Inilah diri Afgan yang sesungguhnya. Afgan bukan tipe orang yang suka miliknya diusik. Dia keras. Seorang petarung sejati.
"Lo udah gue kasih peringatan!" Afgan mengulurkan tangan pada Arsen, bermaksud membantu. "Maaf, gue kelepasan nendang lo," ujarnya dengan wajah menyesal.
"Lo teman gue. Tetap teman gue," tambah Afgan lagi.
Arsen coba berdiri sendiri. Tangan Afgan yang sedang terulur ia abaikan begitu saja. Harga dirinya akan terluka jika menerima pertolongan Afgan, sekecil apa pun itu.
Sejenak keduanya saling tatap. Coba menyelami apa yang dipikirkan satu sama lain.
"Sebaiknya lo pura-pura nggak tau tentang Luna," tutur Afgan datar.
"Cih. Ini untuk Amanda!" Arsen meninju pipi kiri Afgan dengan tiba-tiba.
Sudut bibir Afgan berdarah. Tak ada balasan tinju dari Afgan, sebab jika alasan tinju yang dilayangkan Arsen untuk Amanda maka tak mengapa. Karena Afgan akui ia salah jika menyangkut Amanda.
"Ini untuk kebohongan lo!" Arsen menendang perut Afgan.
"Ini untuk kepura-puraan lo!" Arsen kembali menendang perut Afgan, berkali-kali.
Lalu selanjutnya terdengar suara tinju yang keras. Arsen menghajar Afgan dengan semua kekuatan yang ia miliki. Seolah Arsen sedang menyalurkan kekesalan pada temannya itu.
Afgan tak melawan, ia terkapar tidak berdaya di atas rumput taman. Arsen tepat berada di atasnya menghajar dengan tinju. Wajah Arsen tampak emosi.
Afgan tatap langit biru dari tempatnya tergolek. Tinju terus menghantam wajahnya. Afgan menyadari betapa rendah dirinya. Untuk semua dosa yang Afgan lakukan, ia biarkan Arsen meninjunya habis-habisan. Afgan bukan orang bodoh yang tidak tahu akan kesalahannya. Ia terpaksa dan keadaan memaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Подростковая литература[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...