"Pura-pura lewat dari depan rumah Amanda. Terus bilang kalau aku udah berangkat duluan. Basa-basi sebentar, habis itu ajak Amanda berangkat bareng."
Kurang lebih seperti itu lah wejangan yang diberikan Sarah pada Arsen. Sudah tiga menit lebih Arsen berdiri di depan pagar rumah Amanda untuk mengawasi. Sementara mobilnya di parkir tak jauh dari sini.
Arsen kembali melihat pintu rumah Amanda. Menunggu perempuan itu keluar dari sana. Namun pintu kayu tersebut tak kunjung terbuka. Apa Amanda sudah berangkat sekolah?
"Arsen, lo lagi apa di sini?"
Arsen menoleh ke belakang, telinganya menangkap suara Amanda.
"Lo kenapa ada di luar?" tanya Arsen bingung.
"Gue udah berangkat dari tadi. Cuma kerena ada yang ketinggalan jadi gue balik lagi," jelas Amanda apa adanya.
"Oh gitu. Ya udah, kita barengan aja," tawar Arsen. Dia berujar dalam satu tarikan napas. Terburu-buru.
Amanda menatap bingung. "Tapi --"
"Tapi dia berangkat bareng gue." Sosok Afgan muncul dari balik punggung Amanda.
Wajah Arsen terpahat semakin datar akan kehadiran Afgan. Rasa sukanya melambung pada titik teratas. Wajah bersahaja milik Afgan penuh kepalsuan menurut Arsen. Lihat saja senyum tak berdosa yang Afgan suguhkan, seolah dia adalah manusia paling baik di muka bumi ini.
Jika tidak memikirkan sakit hati Amanda. Arsen tidak akan berpikir dua kali untuk membongkar kebusukan laki-laki itu.
"Amanda berangkat bareng gue," ujar Afgan. Pribadi Afgan tampak ramah seperti biasa, tidak seperti sosok yang kemarin Arsen temui di depan butik.
"Gue kira lo meliburkan diri lagi," suara Arsen terdengar dalam, terkesan menyindir.
"Gue kangen sama Amanda makanya gue masuk hari ini," jawab Afgan santai.
Arsen menatap tanpa minat. Sifat busuk Afgan membuat tangannya gatal ingin meninju wajah laki-laki itu. Afgan terlalu buruk untuk Amanda yang terlampau polos.
"Gue ke dalam sebentar ngambil buku," pamit Amanda seraya berlari kecil memasuki pekarangan rumahnya.
Tinggal Arsen dan Afgan dalam keheningan. Afgan tampak biasa saja, dia menunjukkan ekspresi bersahaja. Wajahnya selalu terlihat baik dan ramah, berbanding terbalik dengan Arsen yang tampak datar.
"Jangan lo sakiti Amanda!" Arsen berdesis.
Afgan tersenyum santai. Ia rangkul bahu Arsen seolah menunjukkan bahwa mereka berteman baik. "Gue nggak mungkin menyakiti hati orang yang gue sayang."
Arsen melirik sinis sambil melepaskan rangkulan Afgan. "Gue nggak paham sama jalan pikiran lo."
"Jangan pusing mikirin hidup gue, Arsen! Ngomong-ngomong semakin gue perhatikan lo sepertinya peduli banget sama Amanda. Jangan bilang lo suka pacar gue," tuding Afgan.
Arsen diam tak menyahut. Menurutnya tidak penting memberitahu Afgan mengenai perasaannya. Afgan tidak pantas untuk tahu rasa cinta milik Arsen pada Amanda. Bahkan Amanda sendiri tidak tahu tentang rasa cinta Arsen, jadi mengapa Afgan harus tahu?
"Gue tahu lo nggak tertarik sama cewek seperti Amanda mengingat gimana dulu lo menolak cinta dia. Jangan sampai lo nyesel ke depannya dan merebut Amanda dari gue. Karena gue nggak akan biarkan itu terjadi," ujar Afgan.
"Urus hidup lo sendiri, Afgan! Semoga lo dapat karma atas setiap tindakan buruk lo!" sahut Arsen tajam. Kemudian ia berlalu pergi.
Afgan menatap mobil Arsen yang melaju kencang. Mobil itu pergi, menyisakan angin di jalanan komplek yang sepi. Selepas kepergian Arsen bahu Afgan melemas. Tentu saja sejak tadi Afgan merasa tegang saat seseorang yang mengetahui rahasia terbesar hidupnya berada dalam radius dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...