"Bu Asih, aku berangkat ya," teriak Amanda dari ruang tamu. Kemudian dia berlari menuju pintu utama rumahnya.
Di halaman rumah sudah menunggu Afgan. Supir baru Amanda. Laki-laki itu sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi ojek pribadi Amanda saat mereka pulang sekolah kemarin. Ada yang gratis, kenapa harus ditolak? Begitu pikir Amanda.
"Maaf gue lama," Amanda berjalan menuju Afgan.
"Nggak masalah."
"Yuk, berangkat." Amanda menaiki boncengan motor Afgan. Memposisikan diri senyaman mungkin.
"Nggak pamit dulu sama orangtua lo?" tanya Afgan.
Senyuman Amanda mendadak lenyap. "Mereka nggak ada di rumah. Sibuk kerja," jawab Amanda sarat akan kesedihan.
Afgan masih belum dapat menangkap kesedihan Amanda. "Gue pengen ketemu camer."
"Ketemu Bu Asih, mau?" tawar Amanda.
"Nyokap lo?"
"Asisten rumah tangga di rumah gue. Yang udah gue anggap lebih dari orangtua gue sendiri. Dia sama berartinya seperti Mama," cerita Amanda.
Afgan memutar kepalanya beberapa derajat. Hal pertama yang ia dapati adalah wajah sedih Amanda.
"Lo ogah ya ketemu sama asisten rumah tangga gue? Tapi harus lo tau, hanya dia yang mengerti tentang perasaan kesepian gue," curhat Amanda.
"Siapa bilang gue nggak mau?" tanya Afgan seraya turun dari atas motor. Gerakan Afgan yang cepat membuat motor itu hampir saja oleng. Namun dengan cepat Afgan pengang, agar Amanda merasa nyaman duduk di atas motornya.
"Yuk kita pamit sama Bu Asih," Afgan mengajak Amanda untuk turun dari motor.
Amanda membatu sesaat. Merasa tersentuh dengan kerendahan hati yang dimiliki Afgan. Ternyata masih ada orang seperti Afgan di dunia yang kejam ini.
"Gue akrab kok sama Mbak yang sering bantu-bantu di rumah. Asisten rumah tangga juga bagian dari keluarga," cerita Afgan. Mereka memasuki rumah Amanda yang sepi.
"Bu Asih ada di mana?" tanya Afgan.
"Di dapur," jawab Amanda. Ia menuntun Afgan menuju dapur rumahnya.
Di dapur terlihat Bu Asih yang sedang mencuci piring. Wanita yang tidak lagi muda itu berjoget-joget mengikuti irama lagu yang menemaninya bekerja, lagu Siti Badriah terdengar dari ponsel Bu Asih.
"Emang lagi syantik tik tik," nyanyi Amanda.
"Eh, Nak Amanda, belum berangkat ke sekolah?" tanya Bu Asih. Seingatnya tadi Amanda sudah pamit pergi.
"Belum, Bu. Ada teman aku yang mau kenalan sama, Bu Asih. Ganteng lho, Bu, jangan sampai suka ya," peringat Amanda dengan nada bercanda.
"Mana cowok gantengnya?" tanya Bu Asih bersemangat.
"Cowok tampannya ada di sini, Bu," Afgan mendekat pada Bu Asih. Mempersembahkan senyuman terbaik yang ia miliki.
"Memang ganteng," puji Bu Asih.
"Teman aku gitu lho," sahut Amanda bangga.
"Nama saya Afgan, Bu. Tapi saya bukan Afgan yang nyanyi di tv. Saya Afgan dengan karisma khas yang terpapar nyata, ketampanan yang tidak akan punah oleh waktu," Afgan coba memberikan kesan pertama yang baik pada Bu Asih di awal pertemuan mereka. Sedikit lulucon akan membuat suasana lebih mencair.
"Udah ganteng, lucu pula. Cocok sama Amanda," puji Bu Asih lagi.
Amanda dan Afgan tertawa. "Saya izin nganter Amanda ke sekolah ya, Bu," ujar Afgan. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, bermaksud menyalim Bu Asih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...