"Putus? Semudah itu kamu minta putus?" tanya Afgan dengan nada tidak percaya.
Amanda membuang pandangannya dari Afgan. Ia enggan menjawab.
"Kamu bilang aku sayang sama Luna lebih dari keluarga. Ternyata kamu benar-benar belum paham bagaimana aku."
"Bukan gue nggak paham gimana perasaan lo. Tapi kenyataan bahwa lo yang terus saja ingkar janji dan menomor duakan gue bikin hati ini sakit. Awalnya gue coba mengerti situasi yang terjadi antara lo dan Luna, tapi semakin ke sini, semakin terasa memuakkan," itu adalah kalimat terjujur dari hati Amanda.
"Kamu sendiri yang mau situasi ini, Amanda. Aku sudah pernah bilang untuk pergi jauh, kamu yang ingin tetap tinggal," ungkap Afgan.
Amanda terdiam sejenak. "Ya, ini memang salah gue. Harusnya dari awal gue pergi dari hidup lo."
Afgan tersenyum sinis. "Semudah itu kamu berkata-kata, Amanda? Aku salah menilai kamu. Aku pikir kamu paham situasi yang sedang aku hadapi. Seenaknya kamu menghakimiku dengan argumen kalau aku sayang sama perempuan lain."
"Itu fakta! Lo bertindak, dan gue menilai. Gue menilai lo suka sama Luna," tuding Amanda.
"Orang lain boleh menilai, tapi yang tahu diri ini adalah diriku sendiri. Ya, aku sayang sama Luna."
Bola mata Amanda melebar. Tidak menyangka Afgan akan mengakui itu dengan mudah.
"Aku sayang sebagai keluarga. Kamu harus paham itu!" tambah Afgan.
Ponsel milik Afgan yang ada di saku celananya tiba-tiba berdering. Sejenak perdebatan keduanya terhenti. Segera Afgan ambil ponsel tersebut. Luna menelepon.
Sekilas Afgan melirik pada Amanda sebelum menjawab panggilan itu. Tanpa meminta izin dari Amanda, Afgan angkat panggilan dari Luna.
"Afgan, orangtuaku udah sampai di Jakarta. Sekarang mereka dalam perjalanan ke rumah," Luna memekik heboh dari seberang sana. Suaranya terdengar ceria.
Afgan tersenyum samar. "Baik, aku segera pulang."
"Ya! Pergi aja sana! Gue nggak peduli!" sambar Amanda marah. Amanda tidak ambil pusing kalau Luna mungkin saja mendengar suaranya melalui telepon. Lalu Amanda melangkah pergi.
Afgan mematikan telepon tanpa kata-kata perpisahan yang pantas. Amanda sudah pergi beberapa langkah darinya . Segera ia kejar perempuan itu.
"Amanda." Afgan menarik pergelangan Amanda, berhasil, perempuan itu akhirnya menghentikan langkah.
Amanda menghela napas. Menenangkan diri dan coba untuk tidak tertawa emosi. Amanda lepaskan tangannya dari genggaman Afgan, kemudian dia berbalik dan menatap Afgan dengan tatapan memelas.
"Gue mau putus, Afgan. Hargai keputusan gue ini," ungkap Amanda dengan tenang, walau kedua sudut matanya berair. Bagaimana pun melepas seseorang yang disayangi itu selalu menyakitkan.
"Amanda," Afgan kehilangan kata.
"Gue nggak sesabar yang gue bayangkan. Awalnya gue pikir bukan masalah lo dekat sama Luna, ternyata nggak sesimpel itu," Amanda menunduk.
"Gue sakit hati sama sikap lo!" tambah Amanda.
Hati Afgan tercubit, sakit melihat perempuan yang sangat ia dambakan lemah seperti ini. Sialnya lagi, ia adalah penyebab kesedihan Amanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...