"Liat tuh calon imam lo yang gagal, lagi berduaan dengan sekretarisnya," Lila berbisik di telinga Amanda.
Mata Amanda berubah tajam. Ia dan Lila baru saja kembali dari toilet dan akan kembali ke kelas. Namun siapa sangka, tidak sengaja Amanda dan Lila melihat Arsan dan Laura keluar dari ruang OSIS.
Sejak dinobatkan menjadi ketua dan sekretaris OSIS, Arsen dan Laura sering kali dilihat bersama. Ada kabar yang berhembus mengatakan mereka pacaran, namun keduanya tidak pernah mengklarifikasi masalah itu kepada warga SMA Panca Dharma. Mereka tidak mengatakan iya, tidak pula mengatakan tidak.
"Arsen, gimana kalau kita bikin acara makan-makan bareng anak OSIS tahun lalu. Kita ramah tamah sama mereka, biar ikatan kekeluargaannya makin terasa." Laura melanjutkan pembahasan mereka yang belum selesai di ruang OSIS tadi.
Arsen tampak berpikir. Beberapa Anggota OSIS memang sudah mengusulkan hal ini. Rencananya mereka akan membuat acara kekeluargaan sesama anggota OSIS tahun lalu dan angkatan mereka guna memperkuat tali persaudaraan. Tentu saja dengan nada dari kantong sendiri, mengingat ini bukan acara formal dari sekolah.
"Gue sih oke-oke aja. Tapi kayaknya anak OSIS tahun lalu pada sibuk semua, apa lagi Bang Arya. Susah banget buat ngajak dia kumpul kalau bukan acara formal," Arsen memberi pendapat. Guratan berpikir dari wajahnya masih belum hilang.
"Mantan ketua OSIS kita itu memang super sibuk. Tapi kita bisa --"
"Minggir! Minggir!" Tiba-tiba Amanda datang dan masuk begitu saja antara Arsen dan Laura. Dia berdiri di tengah-tengah keduanya yang kini sedang menatapnya penuh tanya.
"Jangan dekat-dekat sama Arsen!" Amanda sengaja menyenggol bahu Laura, membuat cewek itu mundur sebanyak satu langkah.
Laura mendengus dongkol, namun tak membalas. Dia malas menanggapi sikap Amanda yang selalu kekanakan. Sebagai manusia yang lebih normal, Laura membiar Amanda begitu saja. Bukan karena takut, tapi ya begitulah. Menurut Laura, Amanda itu bukan orang yang setingkat dengannya dalam hal kedewasaan. Lebih baik mengalah.
Dan jangan salahkan tindakan Amanda yang sedikit bringas. Ayolah! Tidak ada wanita yang suka melihat lelaki yang dia sayangi dekat dengan wanita lain, walau hanya sebatas teman.
"Arsen, kalian lagi bahas Bang Arya ya? Ketua OSIS tahu lalu, kan? Aku kenal lho sama dia. Iya lah aku kenal, siapa coba yang nggak kenal Bang Arya? Seantero sekolah pasti tau dia. Kamu mau aku bantu buat ngajak Bang Arya ke acara anak OSIS?" cerca Amanda dalam satu tarikan napas. Padahal kalimatnya barusan tidak bisa dikatakan pendek.
"Lo kenal gimana sama Bang Arya, Manda? Nggak usah sok akrab deh, sapaan aja nggak pernah. Nggak usah macam-macam! Ayo, balik ke kelas." Lila coba mengajak temannya itu kembali ke jalan yang benar.
"Aku kenal kok. Nggak tau deh dia kenal sama aku atau enggak. Yang pasti aku tahu namanya dan orangnya yang mana. walaupun nggak pernah teguran," Amanda nyengir lebar.
"Itu artinya lo nggak kenal sama dia," sela Laura dengan nada suara yang terdegar dalam.
"Woi sempaknya Mak lampir, diam lo! Gue nggak minta pendapat dari lo," balas Amanda sinis pada Laura. Membuat Laura berdesis tak suka.
"Arsen." Amanda kembali memfokuskan diri pada Arsen. "Kamu mau aku bantu buat ngajak Bang Arya ke acara makan-makan anak OSIS? Acaranya kapan? Biar aku bantu ngomong sama Bang Arya."
"Emang lo bisa?" Lila kembali meragukan ucapan sahabatnya.
"Itu sih masalah kecil. Naklukin Arsen aja aku pantang nyerah. Apa lagi buat minta Bang Arya makan bareng anak OSIS. Jangan raguin aku." Amanda menepuk bagian dadanya penuh rasa bangga.
"Pokoknya kamu tunggu kabar baik dari aku aja. Aku janji bakal bantu kamu yakinin Bang Arya," janji Amanda pada Arsen.
"Nggak perlu!" Amanda tetap tersenyum cerah walau perkataannya tidak mendapat respon baik dari Arsen. Dia menghiraukan penolakan Arsen.
"Gapapa kok! Aku ikhlas bantu kamu. Ya udah, aku balik ke kelas dulu ya." Amanda pergi meninggalkan Arsen dan Laura. Namun saat ia bergerak tiga langkah, Amanda berhenti dan kembali berdiri di sisi Arsen.
"Ini buat kamu." Amanda menyerahkan wafer harga dua ribu yang ada di saku roknya pada Arsen. Wafer tersebut Amanda selipkan di saku kemeja Arsen. "Aku tau ngadepin aku itu butuh tenaga ekstra, wafer itu tambahan energi buat kamu."
Barulah setelah itu Amanda benar-benar pergi dari hadapan Arsen dan Laura. Langkahnya bergerak ceria sambil mengandeng lengan Lila. Rambut Amanda yang diikat satu bergerak ke kiri dan kanan karena gerakannya yang kelewat heboh ketika berjalan.
"Lo nggak ngerasa terganggu sama tingkahnya, Arsen?" tanya Laura sambil menatap punggung Amanda yang semakin jauh.
Arsen menganggkat bahu menjawab pertanyaan Laura. Entah itu jawaban pertanda iya atau tidak.
_o0o_
"Bu, PR saya belum selesai."
Amanda maju ke depan kelas dengan wajah tertunduk. Dia berujar pelan pada sang guru. Pasalnya diantara semua teman satu kelasnya hanya Amanda yang tidak mengerjakan tugas dari Bu Susi, guru sejarah. Sebelumnya Lila sudah mengingatkan Amanda untuk mengerjakan, memang dasar Amanda saja yang malas.
Bu susi menatap malas pada Amanda. "Bukan hal baru lagi kalau kamu nggak ngerjain tugas. Pergi kutip sampah di lapangan! Dan jangan masuk jam pelajar saya hari ini!"
"Baik, Bu," ujar Amanda dengan wajah sedih. Sedih? Apa kalian yakin Amanda benar-benar sedih? Itu hanya topeng saja. Dalam hati Amanda kegirangan karena itu artinya dia tidak akan ikut jam pelajaran.
Amanda meninggalkan kelas yang berlebelkan 11 IPS 4 di atas pintu. Segera ia menuju lapangan untuk menjalankan hukuman dari Bu Susi. Amanda menenteng keranjang kecil, mengambil sampah dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Amanda tersenyum jail saat menatap kelas yang tepat di samping kelasnya. Di atas pintu kelas itu tertera tulisan 11 IPS 3. Di dalam sana ada calon masa depan Amanda. Calon ayah dari anak-anaknya. Siapa lagi kalau bukan Arsen kesayangan Amanda.
Kelas tetangga yang menyimpan cinta sejati Amanda.
Kaki kecil Amanda berjalan ke sana, ia akan melintasi kelas Arsan. Langkahnya melambat ketika mencapai pintu. Amanda melirik ke dalam, dan matanya langsung tertuju pada Arsen yang duduk di barisan paling depan. Laki-laki itu fokus mendengarkan penjelasan dari guru geografi.
"Sekali lagi, ah," bisik Amanda pada dirinya sendiri. Dia putar badan dan kembali melintasi kelas Arsen. Kali ini tidak hanya melambatkan langkah saat mencapai pintu kelas, bahkan Amanda sengaja batuk.
"Uhuk! Uhuk!" Kurang-lebih seperti itu suara batuk Amanda.
Lewat sekali lagi kayaknya gapapa deh, batin Amanda.
Dan dia kembali melintas untuk kali ketiganya. Amanda lebih berani, kali ini dia sengaja menggoyang-goyangkan keranjang yang ada digenggamannya. Amanda grasak-grusuk hingga menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Beberapa orang yang ada di kelas Arsen bahkan menatap Amanda secara terang-terangan.
"Arsen," panggil Amanda pelan sambil ber-dadah ria ketika laki-laki itu melihat ke arahnya.
Arsen menatap Amanda dengan jengah. Matanya beberapa detik mengawasi garak-gerik Amanda yang terlihat heboh. Ya ampun lihat, sekarang perempuan itu melakukan gerakan ciuman jarak jauh.
"Ehem! Amanda." Bu Susi yang sedang mengajar akhirnya menyadari kehadiran Amanda. Guru yang tidak lagi muda itu menatap dengan sebal, gerakan matanya mengisyaratkan pengusiran pada Amanda.
"Maaf, Bu." Amanda nyengir. Dengan langkah hati-hati dia pergi dari pintu kelas Arsen. Sebelum menjauh Amanda mendengar teman-teman satu lokal Arsen menertawakan tingkahnya.
Tbc
Minta pendapatnya dong 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...