Siapa bilang mencintai hanya soal bahagia, saling mengerti, dan percaya maka segalanya akan indah. Nyata tidak, mencintai tidak sesederhana itu. Butuh kata yang lebih dari sekedar pengorbanan.
Sebelumnya Amanda berpikir bahwa mencintai itu sangat sederhana. Dapat bersatu dan bersama. Maka selesai dan dapat dikatakan saling mencintai.
Nyatanya tidak.
"Afgan," ujar Amanda dengan nada tidak yakin.
Amanda melihat secara bergantian pada Afgan dan satu lagi perempuan yang tidak Amanda ketahui namanya. Keduanya berdiri layaknya tersangka di hadapan Amanda.
"Amanda," gumam Afgan nyaris tidak terdengar. "Kenapa kamu ada di sini?"
"Siapa dia?" Amanda rasa menjawab pertanyaan Afgan bukan sesuatu yang penting. Ia lebih memilih untuk mencari tahu siapa perempuan yang telihat begitu intim dengan Afgan.
"Apa lo yang bernama Amanda?" sela perempuan itu.
"Amanda, sebaiknya lo pulang sekarang." Retno berusaha untuk menarik tangan Amanda, namun ditepis.
"Siapa dia Afgan?!" tanya Amanda dengan nada marah. Pikiran buruk tentang Afgan mulai menggerogoti benak Amanda. Entah kenapa Amanda merasa dikhianati.
"Amanda," panggil Afgan pelan. Dengan tertatih ia hampiri Amanda.
"Dengarkan dulu penjelasanku," bujuk Afgan.
"Apa yang mau lo jelaskan?! Gue hanya tanya siapa dia?!" tekan Amanda tidak sabaran.
"Dia Luna."
Oh, jadi ini perempuan yang bernama Luna itu. Perempuan yang selalu Afgan tutupi keberadaannya. Kini akhirnya Amanda melihat dengan mata dan kepalanya sendiri.
"Boleh gue tahu apa hubungan kalian? Gue lihat kalian sangat akrab." Amanda masih tak puas dengan jawaban Afgan.
"Dia --" Afgan enggan melanjutkan kalimatnya.
"Dia siapa?!" tanya Amanda.
"Pacarku," Afgan menunduk tidak berani untuk menatap mata Amanda. Walau lirih, suaranya terdengar tegas.
Amanda tertawa lepas tanpa makna.
Kedua sudut mata Amanda berair. Lelucuan yang sangat lucu. Ah, tidak, ini bukan lelucuan. Ini kisah cinta Amanda yang menyedihkan."Udah gue duga." Sisa tawa Amanda masih terdengar. Dengan gerakan pelan Amanda hapus sudut matanya yang berair.
"Amanda, aku minta maaf."
"Tutup mulut busuk lo itu! Dasar sialan!" maki Amanda.
"Afgan tidak salah di sini," ujar Luna. Ia mengambil langkah maju untuk membela Afgan.
"Apa? Afgan tidak salah di sini?! Lalu siapa yang salah? Gue maksud lo? Gue yang salah karena hadir di antara kalian?" amuk Amanda, emosinya meluap. Wajah Amanda telihat memerah.
"Iya! Lo orang ketiga di sini. Jadi lo tidak memiliki hak untuk marah!" Mata Luna menyorot tajam, seolah enggan untuk kalah.
Dan harga diri Amanda terluka dalam. Kata orang ketiga terdengar hina di telinga siapa pun yang mendengarnya.
"Kurang ajar lo." Tangan Amanda bergerak naik untuk memukul Luna. Namun suara yang berasal dari dua orang mengalun cepat, menghentikan tindakan Amanda.
"Jangan!" larang Afgan tegas.
"Jangan pukul Luna!" Retno ikut-ikutan menghentikan tindakan Amanda.
Tangan Amanda mengambang di udara. Hatinya benar-benar sakit saat ini. Amanda ingin menangis, namun ia tidak boleh melakukannya di hadapan orang-orang terkutuk ini. Amanda harus tetap berdiri tegak dan mengangkat tinggi dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...