Afgan memasuki ruang BK dengan langkah tertatih. Sebelum pulang lebih awal dari sekolah, ia meminta Amanda untuk mengantarnya ke ruang BK. Afgan ingin permasalahan ini tidak diperpanjang.
"Permisi, Bu," ujar Afgan sopan. Ia masuk sendirian ke dalam ruang BK, sementara Amanda menunggu di luar.
Si guru BK yang sedang mengintrogasi Arsen menoleh. "Afgan? Untuk apa kemari? Kamu bisa langsung pulang jika memang tidak sanggup mengikuti jam pelajaran berikutnya."
"Saya pulang setelah ini, Bu. Saya ingin permasalah pemukulan ini tidak diperpanjang. Bagaimana pun Arsen memukul saya karena kesal pada candaan saya yang terlalu kelewatan. Semua ini juga salah saya," jelas Afgan lugas.
Arsen melirik pada Afgan yang kini duduk di sampingnya. Sedikit terkejut karena Afgan tidak ingin memperpanjang masalah ini.
"Sebenarnya apa yang kalian ributkan? Sejak tadi Arsen tidak ingin mengatakannya pada saya," tanya guru dengan kerudung ungu itu.
"Hanya candaan khas anak muda, Bu. Dan tadi saya kelewatan karena menyinggung harga diri dan privasi Arsen," jawab Afgan. Sudut bibirnya yang terluka sedikit nyeri kala berbicara.
Guru BK itu mengehala napas. "Sejujurnya, Ibu juga tidak percaya Arsen memukul seseorang tanpa alasan yang jelas. Ibu tarik kesimpulan di sini kalian berdua memang salah. Besok bawa orangtua kalian berdua untuk mengahadap saya."
"Tapi, Bu --" Arsen coba protes.
"Tidak ada alasan! Ini surat panggilannya," si guru BK mengeluarkan dua amplop putih dari laci meja.
Arsen dan Afgan pasrah. Mereka ambil amplop putih tersebut dengan berat hati. Lalu pergi meninggalkan ruangan BK atau yang lebih pantas disebut ruang sidang.
Amanda yang menunggu di depan langsung mengahampiri keduanya, atau mungkin menghampiri Afgan lebih tepatnya. Ditatapnya sang pacar dengan pandangan lembut.
"Gimana?" tanya Amanda.
"Besok aku panggilan orangtua," jawab Afgan lesu.
"Udah jangan sedih. Semua pasti baik-baik aja. Sebaik lo pulang sekarang," Amanda coba menenangkan.
"Dasar munafik," desis Arsen. Kontan saja Amanda merasa tersinggung.
"Harusnya lo bersyukur Afgan nggak memperpanjang masalah ini. Gue kecewa sama lo, Arsen!" ujar Amanda.
"Gue lebih kecewa sama lo yang menjadikan Afgan sebagai pengganti gue," sahut Arsen dengan raut wajah dingin.
Alis Amanda saling menyatu. "Pengganti apa?" tanyanya.
"Pengganti gue di hati lo. Harusnya lo cari cowok yang lebih baik," tegas Arsen. Raut wajah dinginnya berubah kecewa.
"A-apa maksud lo?" Amanda menuntut penjelasan.
Arsen tidak memberi jawaban setelah itu. Arsen tipe manusia yang tidak pandai menjelaskan. Ia lakukan semua sendiri tanpa komunikasi. Membuat orang-orang sering kali salah paham padanya.
Kaki Arsen bergerak pergi. Meninggalkan Amanda dengan seribu tanya.
"Akhir-akhir ini sikapnya bikin gue kesal," lirih Amanda sambil menatap punggung Arsen yang semakin menjauh.
"Arsen memang begitu. Jangan diambil pusing," sahut Afgan.
Amanda mengangkat bahu. Seolah tidak peduli. "Ayo, biar gue cari taksi buat lo. Oh iya, ini tas lo. Tadi gue ambil dari kelas." Amanda menyodorkan tas ransel milik Afgan.
"Pacar aku perhatian banget sih. Makasih," Afgan tersenyum kecil.
"Nanti sampai di rumah lukanya diobati lagi," suruh Amanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda [END - SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[TERSEDIA DI TOKO BUKU] ✔ Heboh, adalah kata yang tidak pernah lepas dari diri Amanda. ✔ Lebay, sudah menjadi ciri khasnya. ✔ Bodoh. Untuk yang satu ini Amanda akui. Well, dia memang bodoh. Lalu, bagaimana jika manusia seperti Amanda jatuh cinta pad...