Guru Olahraga (END)

19

Hening. Orang didepan gue gak kunjung ngomong dari tadi. Gue yang juga bingung mau ngomong apa takutnya salah. Padahal dia yang ngajakin ketemu tapi malah gak ada topik kaya gini.

"Ehm" dehemnya.

"jadi saya mau minta maaf, Jo" ucapnya menatap dalam mata gue.

Gue gak ngerti. Mungkin selama ini gue merasa sakit hati karna beliau cuekin gue. Karna gak tau alasannya jadi gue gak terlalu menyalahkan Pak Rafli, toh diri gue sendiri yang udah terlalu berharap.

"Buat apa?" tanya gue, pak Rafli diam masih setia menatap bola mata gue.

"kamu sadar kan perhatian saya selama ini ke kamu seperti apa," Masih diam, mencerna setiap kata yang dilontarkan beliau.

"Maaf, akhir akhir ini saya membatasi komunikasi dengan kamu, Jo, saya punya alasan tapi terlalu takut buat ngomonginnya"

Alasan apa yang bikin semua ini seakan hanya main main. Apa pak Rafli emang gak pernah benar benar serius sama gue? Apa gue hanya sekedar pelampiasan mengingat mantan pak Rafli yang cantik banget itu? Semua ini terlalu nyata dibanding gue yang gak ada apa apanya.

"Pertama saya harus jelasin ini dulu supaya kamu gak salah paham"

"Eh?"

"Tentang mantan saya. Saya tau kalo kamu beberapa kali sudah memergoki kami berdua kan?"

"Eh! E-enggak mergokin kok, cuma kebetulan aja pas di tempat yang sama" Gue mengalihkan pandangan. Hubungan kami bukan apa apa, gue malu kalo kelihatan cemburu kaya gitu.

"Jadi, kalo tau saya ada disitu kenapa bapak seakan gak tau?"

"Saya sengaja, Jo"

Sengaja ya. Apa pak Rafli malu kalo mantannya tau beliau kenal orang buluk kaya gue.

"Gausah banyak mikir!" kata pak Rafli yang seakan bisa membaca isi pikiran.

"saya harus menyelesaikan masalah dengan mantan saya dulu. Saya cuma gak mau kamu terlibat"

"Kenapa?"

"Dia masih seperti dulu, masih membuat saya kecewa"

Suasana hening sesaat. Gue menarik napas panjang.

"tapi bukannya setiap orang itu bisa berubah ya, dan lagian itu sudah lama, mungkin mantan bapak sudah benar-benar berubah jadi lebih baik"

"awalnya saya memang percaya dia sekarang berubah, dan hampir saja saya merelakan perasaan saya dengan menerimanya, bukan karna cinta tapi kasian"

Hampir menerimanya kembali? Kasian?

"mm maksudnya?"

"Dia enggak berubah sama sekali. Dia memaksa saya karna dia sedang hamil dan meminta saya yang bertanggung jawab"

"A-apa? Bapak hamilin anak orang?!" gue menutup mulut dengan kedua tangan, terkejut gak sekira.

"Bukan, Jo!"

"terus?"

"Yang pasti bukan saya"

"mmm, tapi pak kasian mantan bapak, gimana nanti anaknya lahir gak ada bapanya?"

"Masalah sudah selesai, sudah ada jalannya"

"Saya salut sama mantan bapak, dia sudah berusaha pertahanin anaknya dan gak mikir mau ngegugurin. Wanita kayak dia itu gak baik dari mana coba, dia orang yang bertanggung jawab"

"Iya, Jo, saya juga mikir begitu. Tapi tenang aja" pak Rafli terlihat lebih santai dan dengan santainya pula beliau memakan makanannya yang udah dianggurin dari tadi.

"Tenang aja gimana? Saya rela kok bapak balik lagi sama mantan bapak, saya rela ikhlasin perasaan saya. Dia lebih butuhin bapak dibanding saya. Demi masa depan dia, demi masa depan anak itu"

Pak Rafli tertawa dan memandangi gue lekat. Bukannya apa apa, tapi kok ketawa pas pembicaraan lagi serius gini.

"Anak itu sudah ketemu sama bapanya"

Akhirnya gue bisa tersenyum lega.

"Jadi,, kamu gak perlu merelakan perasaan kamu, dan jangan pernah khawatir aku akan berpaling dari kamu" ucap pak Rafli bikin pipi gue memerah. Ish cringe banget si, mana pake aku kamu lagi.

"mas nunggu kamu buat lebih dewasa lagi dan siap mendampingi mas"

Gue terperangah, memproses kata demi kata yang diucapkan pak Rafli tadi.

"belajar yang bener ya, biar bisa jadi ibu yang cerdas buat anak anak kita nanti"

Lagi lagi ucapan pak Rafli terlalu jauh bikin gue tersedak.

Gue menyuapkan makanan sambil senyam senyum dan pandangan ke arah lain. Sumpah rasanya kupu kupu di perut gue mengamuk, gue pengen teriak sekencang kencangnya.

"Tapi masih ada satu alasan lagi"

Seketika gue menghentikan aktivitas makan. Gue kira obrolan tadi udah kelar, tapi kayaknya sesuatu yang penting belum disampein pak Rafli.

"Nanti ya! Nunggu waktu yang tepat hehe" Pak Rafli tersenyum, tapi gue tau itu bukan senyuman bahagia. Senyum pak Rafli gak kaya biasanya, itu kelihatan banget lagi dibuat buat.

"Apa yang bapak gak bisa sampein sekarang?"

"Mulai sekarang jangan manggil bapak lagi, panggil aja mas, dan jangan pake saya lagi tapi aku. Oke!"

Ternyata, pak Rafli mengalihkan obrolan. Mungkin ini memang saat yang gak tepat. Hati gue rasanya gak nyaman, seakan sesuatu yang buruk bakal terjadi.

"Oke, mas"

Wahahaaaa makasih semuanyaa
:"v