7 | Hasil Keputusan

2.3K 176 0
                                    

Suara riuh terdengar memekakkan telinga saat anak-anak kelas XII MIPA 1 sedang melakukan senam lantai di ruang olah raga.

Beberapa gadis tengah menggelembungkan pipi, kemudian menghela napas saat namanya disebut. Tak terkecuali bagi Hayfa dan Zahra. Pelajaran yang paling dibenci oleh para gadis kelas mereka adalah olah raga, apalagi saat-saat penilaian seperti ini.

Bagi mereka, olah raga cukup menguras banyak stamina. Ditambah lagi bagi anak-anak zaman sekarang yang lebih nyaman dengan bermain gadget daripada menggerakkan tubuh mereka sendiri. Padahal, ruangan itu kedap akan cahaya Matahari. Hanya dikenai beberapa pantulan semburatnya, tapi hampir semua gadis yang tidak menyukai olah raga berkeringat dingin, merasa bahwa atmosfer di sekelilingnya tengah mendidih.

"Hayfa," kata seorang wanita paruh baya yang membawa beberapa tumpuk kertas. Matanya menyipit saat melihat tingkah Hayfa yang beberapa kali menarik napas.

Entah keberapa kali gadis itu menghela napas. Yang jelas, matras seakan lebih kecil dari ukuran asli. Mata teman-teman yang memerhatikan dirinya pun seakan bertambah. Entahlah, dirinya grogi tingkat apa.

"Hayfa ...?" Wanita paruh baya itu kembali memanggil, yang dipanggil hanya cengar-cengir.

"Semangat, Fa!" Zahra yang berada di tempat tak jauh darinya menyemangati. Gadis-gadis lain ikut menyoraki dengan tujuan memberi semangat.

Dua meter.

Satu meter.

Langkah kaki Hayfa memangkas jarak. Dirinya semakin dekat dengan matras. Perlahan ia menutup telinga, membiarkan alam berbicara dengan tubuhnya apa yang harus dilakukan.

BUG!

***

"Hari ini aku yang mentraktir," kata Zahra sambil mengempaskan diri ke kursi kantin, kemudian melihat wajah Hayfa yang bete tingkat dewa. Bagaimana tidak, saat praktek tadi, tiba-tiba Ali datang dengan pakaian PNS-nya. Spontan, ia terkejut dan saat roll belakang malah menabrak siswi lain.

"Aku malu tahu! Kenapa harus ada sesi Kak Ali di sana sih! Pasti, sebentar lagi aku akan menjadi bahan bulan-bulanan Kak Ali gara-gara tidak bisa roll belakang." Mukanya yang bete, kini tambah bete. Apalagi saat mengingat kejadian yang memalukan itu .... Ia seperti ingin tenggelam saja saat melihat teman sekelasnya yang barang kali bertemu dengannya di kantin atau sekadar berpapasan.

"Tidak apa, roll belakang memang susah kok." Zahra tersenyum, di antara banyaknya gadis yang mengeluhkan susahnya olah raga, Zahra adalah segelintir gadis yang sangat menyukai olah raga. Baginya, sehari tanpa berolah raga itu membuat dirinya melemah. Tak ayal, bentuk badan Zahra lebih tinggi dan ramping dibanding Hayfa. Banyak gadis-gadis yang iri karena itu.

Kali ini bibir Hayfa maju beberapa senti, menyangga kepala dengan kedua tangan, menatap Zahra yang berada di depannya.

"Apakah kamu benar-benar menyukai Kak Ali?" tanya Hayfa setelah beberapa detik lengang. Zahra yang saat itu sedang meminum, tersedak.

"Sepertinya begitu."

"Mengapa 'sepertinya begitu'? Apakah benar kamu menyukai kakakku?"

"Entahlah, aku merasa seperti ... sakit hati saat ditolaknya. Bahkan, aku merasa kecewa."

Suasana kembali lengang. Hanya ada suara telapak kaki orang-orang yang tidak sengaja berlalu-lalang. Jam pelajaran mereka masih olah raga, jadi tak heran jika kantin belum ada orang. Hayfa menatap Zahra dalam.

"Ra, kamu-"

"Atlet roll depan sedang memakan bakso rupanya." Tiba-tiba suara bariton yang mereka kenal memenuhi gendang telinga.

Hayfa menatap pemuda yang cengar-cengir itu, kemudian duduk di sebelah Hayfa.

"Jangan begitukan aku! Sudah kubilang, aku tidak suka olah raga!" Hayfa bersungut-sungut. Menatap Ali yang masih cengar-cengir.

Ali menggeleng, mengusap jilbab Hayfa lembut.

"Kakak! Jilbab Hayfa rusak nih! Ih, Kakak nyebelin!" Hayfa kembali mengerucutkan bibir, menggelembungkan pipi. Pipinya merah karena sedang marah.

Cengiran Ali perlahan memudar saat menyadari kehadiran Zahra. Gadis itu tersenyum kikuk menatap Ali. Pipinya merah merona saat melihat mata teduh Ali.

"Assalamualaikum, Pak." Zahra tersenyum. Senyum yang mampu membuat setiap orang terpesona. Dan, tak bisa dipungkiri, darah muda Ali bergejolak. Dadanya berdesir hebat saat melihat pesona senyum indah dari Zahra.

"Waalaikumsalam," jawabnya sembari tersenyum segaris. Kemudian, kembali menatap Hayfa. Suaranya ia paksakan agar tidak bergetar. Entahlah ... hatinya seperti telah direbut secara paksa dari tempatnya.

Benarkah, dari ribuan gadis di dunia, hanya dia yang ada di hatinya?

Benarkah, dari ribuan gadis Mesir yang memiliki wajah memesona seperti Cleopatra, hanya dialah yang mampu menaklukkan hatinya?

Inikah masanya ... ia akan belajar bagaimana cara mencinta?

Padahal, banyak sekali gadis Mesir yang jatuh hati kepadanya, mengapa ia malah memihak gadis Indonesia? Apakah ini masanya ia akan menuruti kehendak umi?

"Kakak!" Suara cempreng Hayfa memecahkan lamunannya. Ali menatap beberapa detik, kemudian kembali mengedarkan pandangan. Kali ini ke ibu kantin yang sedang sibuk menggoreng nasi di atas wajan.

Dengan senyum yang mengembang, ia berjalan menuju kantor. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan hari ini. Daripada menunggui adiknya makan, sepertinya tidak ada manfaat. Apalagi ditemani seorang gadis yang mampu menyeretnya ke jurang perzinaan.

"Kak ... aku mau meminta jawaban. Tidakkah Kakak tahu jika aku sudah menanti jawabanmu?"

DEG!

Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Badannya kaku, seakan disambar petir beberapa kali. Atmosfer debaran jantung mengisi sekeliling mereka.

Bagaimanapun juga, ia harus memberikan keputusan.

Beberapa detik setelah itu, dengan mantap ia membalikkan badan, menatap Zahra beberapa detik.

"Zahra, aku ...."

Salatiga, 30 Maret 2019

Salam hangat, Alifah Fitry

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang