Hayfa diam, matanya kembali menatap keramik pualam di bawah. Setelah tertembus tombak, kini ditambah berdebar menunggu sebuah penggalan kisah yang ia tunggu.
Kisah hidup dirinya.
"Umi bertemu dengan ibumu sejak SMA. Kebetulan kita bersama sampai kuliah. Ibumu adalah gadis yang sangat periang di mata umi. Selain cantik, ibumu juga berprestasi. Senyum, alis, bibir, hingga hidung pun persis sepertimu. Tidak pernah umi berpikir akan seperti ini akhirnya ...," katanya menggantung. Umi menatap langit-langit ruangan dengan mata berkaca-kaca.
Hanya ada Umi dan Hayfa yang ada di ruangan itu. Umi menyuruh Ali dan Zahra untuk keluar sebentar, beliau hanya ingin berbicara empat mata dengan Hayfa. Selebihnya, tidak ada siapa pun di sana. Mungkin, umi bersikap begitu karena ingin menjaga privasi Hayfa.
Akan tetapi, itulah kecurigaannya. Mengapa Umi menyuruh Ali dan Zahra pergi? Sepenting itukah, seburuk itukah, atau seaib itukah kenangan hidupnya di masa lalu?
Umi kini beralih menatap ke jendela. Di atas sana, tersaji arakan awan yang menghiasi bentangan cakrawala yang membiru. Jendela dibuka, memberikan peluang bagi udara bergerak untuk menyelinap masuk ke kamar.
"Setiap melihatmu, umi jadi teringat dengan ibumu ...," katanya melanjutkan cerita. Mata tua yang sudah berkeriput itu tengah mengandai dan berteman dengan alam imajinasinya yang liar. Selalu menganggap bahwa ibu Hayfa selalu di sampingnya dengan kehadiran anak tujuh belas tahun yang lalu ia ambil dari sebuah panti asuhan.
"Umi kenal dan bersahabat dengan ibumu. Tapi setelah wisuda, kami mulai berpisah. Umi dilamar oleh abi angkatmu dan menikah, tidak tahu lagi setelah itu keadaan ibumu. Yang umi tahu, saat itu ibumu juga tengah dilamar oleh seorang pemuda.
"Beberapa tahun menikah, akhirnya kami diberi momongan. Ali lahir ke dunia bertepatan dengan ibumu yang mengirimiku sebuah surat. Entahlah, isinya sepertinya mengabari jika ia baik-baik saja. Umi dilarang mengkhawatirkannya. Saat itu, umi bisa memaklum. Mungkin ibumu selama ini sibuk dan tidak bisa mengirimi kabar ke umi beberapa tahun terakhir.
"Tepat saat Ali berumur empat tahun, sebuah kejadian pilu terjadi. Abi Ali meninggal terkena serangan jantung. Dan sehari setelah itu pula, umi mendapat surat lagi dari ibumu jika aku disuruh mengambilmu di panti asuhan. Saat itu, kamu masih menjadi bayi merah, seperti baru dilahirkan dua hari. Terenyuh sekali saat umi datang menjemputmu. Semua wajahmu mirip sekali dengan ibumu." Mata wanita baya yang berkeriput itu kembali berkaca-kaca, membayangkan kejadian tujuh belas tahun yang lalu. Memorinya seakan mengingat dan dipaksa kembali memutar kejadian pilu belasan tahun terakhir.
"Saat aku bertanya kepada penjaga panti di mana ibumu berada, mereka bilang jika mereka menemukanmu di depan pintu. Telah lama umi kehilangan jejak sahabat terbaik umi ...." Air matanya kali ini meleleh, kata-kata terakhir yang diucapkan tadi diselingi dengan nada yang melirih. Sangat dalam jika dirasa.
Begitupun Hayfa, gadis itu tergugu, menatap ke bawah, menangis terisak di depan umi sembari masih menunggu kelanjutan ceritanya yang pelik.
"Ibumu sangat baik, Fa. Banyak sekali kebaikan yang diberikan kepada umi, membuat umi berhutang budi banyak pula kepadanya. Salah satu perjuangan ibumu untuk umi yang tidak akan terlupakan dan mengharu biru bagi umi adalah saat ia menyelamatkan umi dari kelompok preman yang ingin menjahili umi. Kamu tahu, betapa beratnya perjuangan ibumu, menghadang para preman agar uang umi tidak diambil sendiri. Berdiri kokoh di depan umi, melindungi umi dengan setulus hati. Tanpa rasa gentar, tanpa ada rasa takut. Ibumu melawan mereka dan membiarkan kulitnya terkena cabikan preman dengan tujuan umi tidak boleh terkena segores pun pisau." Air matanya kembali berlinangan. Kisah itu membuatnya semakin tersedu-sedu. Beruntung, saat itu langsung banyak orang yang datang dan membantu mereka. Jika tidak, untuk gadis ukuran SMA sudah tidak akan bisa tertolong lagi nyawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]
SpiritualIa ingin seperti Rabiah Al Adawiyyah, seorang sufi yang begitu kukuhnya cinta kepada Allah. Saking takwanya, hingga ia tak goyah sedikit pun dengan godaan nafsu pada saat Alquran sudah hilang tergerus zaman. Itulah cinta yang hakiki. Cinta yang mele...