11 | Tangis Pilu Seorang Gadis

2.1K 152 7
                                    

Sinar Matahari menyelimuti pantai saat dua kaki kecil Hayfa menyentuh butir-butir pasir pantai yang berwarna putih. Angin yang bermuara dari Merbabu semilir mengibarkan jilbab dan gamis merah mudanya.

Bibir pantai dipenuhi oleh para pengunjung. Ada yang berenang di pantai, ibu-ibu mengelompok menjadi beberapa gerombol sambil melihat anaknya yang bermain air dengan pelampung, bahkan ada yang sekadar berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai untuk melepas penat.

Hayfa adalah macam orang yang terakhir. Ia berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai, menelusuri tiap-tiap pesisir dengan mengagungkan asma Allah. Walaupun ia adalah gadis angkat, tetapi hidup bersama keluarga Ali membuat karakternya sedikit baik. Walaupun ia tahu, dirinya tak seperti Ali, yang benar-benar berilmu dalam hal keagamaan.

Jika kembali berbicara tentang Ali, gadis itu tak akan berhenti untuk tersenyum, walaupun beberapa kali harus menahan pelik yang ada di hati.

Zahra mengatakan, jika Ali adalah pemuda tipe suami idaman. Hampir semua mata pelajaran mampu ia kuasai. Tafsir, ilmu kalam, hadis, mampu ia hafal di luar kepala. Kosakata bahasa Arab, Inggris, Jepang, bahkan katanya Ali sekarang baru belajar bahasa Turki.

Jika Ali ingin, ia bahkan bisa menjadi tangan kanan CEO di sebuah perusahaan ternama. Sayang, ia lebih memilih menjadi seorang guru dengan alasan ingin mengajarkan ilmu kepada manusia, agar ilmu yang selama ini dicarinya bisa bermanfaat. Baik dunia, maupun akhirat.

Sungguh mulia. Siapa gadis yang tidak akan tergila-gila? Mata teduh, hidung runcing, dengan senyum memesona. Terlebih lagi dengan rambutnya yang senantiasa basah akibat air wudu.

Tiba-tiba langkah kecilnya terhenti. Ia terhenyak saat melihat Ali yang sedang duduk di bibir pantai. Ia mendongak, menatap langit yang biru, dengan arakan awan seputih kapas.

Bibirnya bergetar, mengucapkan tasbih kepada Sang Khalik. Matanya memandang sang cakrawala dengan hati takjub. Dadanya berdesir hebat, saat menyadari Keagungan Allah SWT.. Langit memesona, bentangan lautan yang berwarna biru indah, dengan kadang kala terdengar suara burung mencicit melintasi birunya cakrawala.

Dunia ini benar-benar indah. Seperti mawar putih yang berbingkai tangkai warna hijau, di kelopaknya terdapat butir-butir embun yang indah.

"Kak ...," kata Hayfa sembari mendekati Ali. Pemuda itu menengok sebentar, tersenyum segaris, kemudian kembali menatap langit.

"Eh, Fa. Ada apa?"

"Zahra di mana?" Hayfa celingak-celinguk, pandangannya ia edarkan ke sekitar, mencari Zahra sejauh matanya memandang.

Yang dilihat hanya orang-orang di sebelah utara yang tengah melakukan aktivitas masing-masing. Ibu-ibu yang tadinya menggerombol, kini sepertinya telah bubar. Anak-anak mereka telah selesai bermain-main di air. Mungkin, mereka rombongan anak-anak TK yang melakukan piknik.

Di sebelah Selatan mereka, ada anak-anak usia kisaran empat belas tahun sampai lima belas tahun tengah bermain bola. Sepertinya, mereka anak SMP yang juga tengah melakukan piknik. Walaupun di sampingnya tengah berpiknik keluarga, tapi pantai ini lebih didominasi oleh anak-anak yang melakukan liburan sebelum UN, mungkin.

"Entahlah. Tadi dia pamit kepadaku untuk mencarimu." Suaranya tenang, di antara deburan ombak yang berada di pantai. Ali dan Zahra telah bertunangan.

Bertunangan.

Pernyataan itu selalu terngiang dalam otak Hayfa. Biarpun ia sudah resmi menjadi bukan mahramnya, untuk mendapatkan Ali juga sangat susah. Karena mereka telah bertunangan.

"Tapi sedari tadi aku tidak melihatnya menghampiriku." Kembali, Hayfa mengedarkan pandangan, mencari-cari Zahra di antara panorama pemandangan di muka Bumi.

"Mungkin mencarimu tetapi tak ada, kemudian memutuskan untuk membeli makanan. Lagi pula, kita benar-benar belum mahram. Aku takut jika aku berlama-lama dengannya akan menimbulkan fitnah bagi yang memandang kami. Cukuplah setelah akad."

Perkataan Ali barusan tajam sekali, mampu menusuk sanubari.

Setelah akad katanya?

Mendengarnya saja sudah cukup membuat hati sesak. Sakit, seperti dihujam perkataan tajam itu.

Hayfa mengangguk, tanda mengerti. Dalam hatinya was-was.

"Kak," lirihnya. Ali yang semula mendongak, kini menatap Hayfa.

"Bolehkah aku bertanya?"

"Kalau ingin bertanya, ya silakan bertanya. Tidak perlu meminta izin. Insya Allah kujawab kalau aku mampu menjawab."

"Mengapa tidak mau menciumku, Kak?" Hayfa menatap lurus ke arah Ali. Yang ditanya terhenyak. Berapa kali gadis itu bertanya pertanyaan seperti itu?

Ali kemudian tersenyum, menatap sekilas wajah Hayfa yang takut-takut, kemudian kembali menatap langit.

"Ya karena kamu sudah besar."

"Kalau itu alasan Kakak, mengapa waktu kecil dulu Kakak tidak pernah mau menciumku?" Dada Hayfa bergemuruh, berapi-api.

"Ya karena kamu itu istimewa."

"Istimewa apa? Istimewa menjadi anak angkat?"

Tiba-tiba pandangan Ali langsung beralih ke Hayfa yang matanya berkaca. Senyumnya dengan cepat memudar saat mendengar perkataan Hayfa terakhir kali.

Hayfa tahu dari mana?

"Mengapa Kakak tidak menjawab?"

Diam. Tidak ada suara apa pun selain debaran ombak. Para pengunjung pun mulai pulang. Matahari telah tergelincir ke barat. Sebentar lagi senja akan tiba, memberikan pesona langit yang menawan lewat sapuan warna kejingga-jinggaan.

"Kamu itu Hayfa, adikku." Kali ini, intonasi suara Ali bergetar, bagaimanapun juga, ia sudah berjanji dengan umi agar Hayfa tidak tahu tentang anak angkat itu.

Tak terasa, air matanya bercucuran. Ia menatap dalam-dalam wajah Ali yang bersinar terkena cahaya Matahari. Gadis itu tersenyum dalam kepedihan.

"Kalau aku adikmu, buktikan, Kak. Ciumlah aku, ciumlah aku." Ia menangis terisak, dalam hatinya sesak.

Diam.

Ali diam tak berkutik, menatap mata Hayfa yang kali pertama mengeluarkan bulir air mata. Belum pernah ia melihat Hayfa menangis sampai seperti ini. Selama ini, di matanya, Hayfa adalah gadis yang anti dengan yang namanya menangis.

"Mengapa tidak menciumku?" tanyanya sembari mengusap air mata dengan kedua tangan. "Bukankah Kakak tadi yang bilang jika aku adalah adik Kakak?"

Intonasi gadis itu semakin lama semakin bergetar, seiring dengan tangisnya yang pecah. Ali diam, tidak mampu berkata apa-apa.

Bagaimana ini? Bagaimana pula aku akan menjelaskan kepada umi?

Kembali, senyum kecut hadir di bibir merah Hayfa. Setidaknya, Ali kalah telak darinya. Kemudian berbalik badan, membiarkan kaki-kakinya kembali menyentuh pasir pantai, berjalan menjauhi Ali yang masih tergugu dengan kejadian ini.

Sebelum benar-benar pergi, ia sempat berkata, "Jangan khawatirkan bagaimana Kakak nanti menjelaskan kepada umi. Aku tahu kenyataan ini juga dari umi."

Setelah selesai berkata seperti itu, ia kembali menyeret kaki-kaki kecilnya menjauhi Ali. Membiarkan jemarinya meraskaan sensasi pasir putih pantai, dengan deburan ombak yang mencoba menghibur hati.

Di ujung senja ini, aku kembali patah hati.



Salatiga, 5 April 2019

Salam hangat,
Alifah Fitry

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang