9 | Rahasia Besar Umi

2.3K 175 0
                                    

Aku ingin membunuh cinta yang ada di hatiku. Sayang, itu seakan terlambat. Cintaku telah mengakar sampai ke dalam.

Hayfa menatap ke depan. Kejora tengah menghiburnya, malam menyaksikan rasa patah hati yang teramat dalam dari gadis itu.

Biarkan kubunuh perasaan itu.
Biarlah semua saat-saat yang ada sangkut paut dengan Ali digerus oleh waktu.

Parade bintang tengah bertabur, berjuta-juta membentuk rasi indah. Kota jika dilihat dari ketinggian terlihat lebih indah. Berkerlap-kerlip, sesekali beberapa rumah memadamkan lampu.

Begitupun dengan gunungnya.

Gunung pada saat malam hari cukup menawan sejauh mata memandang. Seperti bintang, penduduk yang hidup di gunung itu menyalakan lampu. Mungkin, terlihat seperti kawanan kunang yang permai.

Apalagi saat embusan napas malam meniup kulitnya, menembus sampai ke tulang-belulang. Gadis itu menggigil, menggosokkan kedua telapak tangan untuk menciptakan energi kehangatan.

Sayang, tempat yang biasa ia gunakan untuk menenangkan pikiran setelah pantai tidak jauh berbeda dari sebelumnya.

Duduk di serambi kamar lantai atas, menikmati panorama keindahan kota dan gunung, berteman dengan embusan angin malam.

Mereka belum mampu membuat hatinya membaik.

Matanya menatap lurus ke arah bawah, tepat di pintu gerbang ia mendapati umi tengah tersenyum simpul kepada Zahra-mereka seperti sudah akrab. Dilihat dari gerak-geriknya pun, sepertinya Ali akan mengantarkannya pulang.

Hayfa menarik napas panjang-panjang. Menatap mereka berdua sama saja dengan merenggang hati.

Beberapa hari terakhir, Zahra kerap ke sini. Bukan karena ingin bertemu dengannya, tetapi ingin bertemu kakaknya, Ali. Entahlah, gadis itu berbeda dari biasanya.

Untuk apa mengurusi urusan orang lain? Uruslah urusan diri sendiri dulu, diri sendiri belum tentu bisa seperti orang lain yang akan kita urus.

Gadis itu kali ini menunduk. Ia harus mencoba meminimalisir ingatan tentang Ali yang membuatnya semakin membuncahkan asmara.

Perlahan kaki kecil dengan balutan gamis longgar itu digiring kembali menuju kamar. Mencoba tidak peduli apa yang akan terjadi. Kemudian, menatap kalender.

Tujuh hari itu, peristiwa itu akan terjadi. Peristiwa yang Hayfa ingin tidak akan berlangsung.

Bolehkah ia seperti itu? Egois mementingkan diri sendiri padahal sudah jelas-jelas yang diharapkan tidak pasti.

Mengapa seperti ini? Mengapa Allah ciptakan cinta kepada orang yang salah? Mengapa Allah menumbuhkan rasa cinta kepada kakaknya?

Bukankah itu terlarang?

Ia menghela napas sekali lagi, kemudian kembali menatap kejora dari jendela.

Sepertinya, Bumi dan seisinya tengah merasakan kepedihannya juga.

Aku terlalu jauh mengharapkanmu. Kuharap, sisa-sisa cintaku mampu terpendam bersamaan dengan kenangan darimu.

Ia benar-benar menyesal telah membiarkan cinta itu berkembang biak.

Bukankah cinta ... tidak harus memiliki? katanya sembari tersenyum getir. Kenyataan pahit akan datang.

***

"Kamu tidak makan?" Zahra menatap selidik Hayfa. Yang ditanya masih diam, sibuk dengan bayangan yang selalu terbesit di otaknya.

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang