21 | Memulai Hidup Baru

1.9K 139 4
                                    

Mungkin seseorang akan merasa tidak nyaman ketika ditinggalkan seseorang. Ya, begitulah yang dialami oleh Hayfa. Gadis itu beberapa kali menggerutu ketika pesawat yang ditumpangi Ali lepas landas. Setitik hatinya seakan ada rasa penyesalan yang teramat-sangat. Penyesalan dan kesedihan yang mendalam.

Hanya doa yang bisa ia lakukan saat ini. Pemuda itu sudah kuat tekadnya, tiada yang bisa menahan. Kepergiannya menimbulkan luka, tapi bukankah sejak dulu ia harus melupakan Ali? Jika selama ini ia mengharapkan Ali, bagaimana perasaan Huda? Ia menatap suaminya yang juga menatap pesawat yang ditumpangi Ali kian menjauh.

Ia merasa bersalah. Menyia-nyiakan sebuah hati demi hati yang tidak akan bisa menjadi miliknya. Bukankah itu bodoh?

Ia menatap mata Huda yang begitu bening. Dadanya berdesir hebat, baru kali ini ia merasakan guncangan yang hebat pada dirinya saat rasa bersalahnya menguasai hati. Saat mulutnya ingin mengucapkan permintaan maaf, tiba-tiba Huda juga menatapnya. Lelaki itu sejak tadi merasa diperhatikan dengan istrinya.

Belum sempat Hayfa bersuara, tiba-tiba suara umi menghentikannya. "Ayo, sudah. Kita pulang saja. Tidak apa-apa, berdoa saja semoga Ali selalu diberikan kesehatan dan perlindungan dari Allah SWT.."

"Aamiin," jawab mereka bertiga bersamaan. Hayfa yang tadi menatap Huda beralih menatap umi. Walaupun bibirnya membentuk sesungging senyum, tapi mata tuanya tak lagi mampu berbohong. Kenyataan bahwa ia merasa telah kehilangan buah hati yang sangat ia cintai beberapa tahun terakhir nanti.

Umi berjalan, kemudian disusul Hayfa. Perempuan itu memegang erat tangan kanan umi, sedangkan tangan kiri umi dipegang oleh Zahra. Mereka berdua perlahan berjalan menuju pintu keluar. Sepersekian detik kemudian, tepatnya beberapa meter dari berdirinya mereka tadi, suara seorang wanita cukup mampu membuat mereka berempat menoleh ke belakang, mencari sumber suara.

"Kang Huda?" sapanya dengan tersenyum. Seorang gadis dengan mengenakan gamis batik pekalongan berwarna cokelat muda dengan warna dasar putih menghampiri mereka dengan wajah berseri. Mungkin, gadis itu kenalan Huda saat mondok dulu di Magelang. Terlihat dari penampilannya: Jilbab lebar dan besar, serta gamis syarinya.

Huda yang posisinya paling belakang dari mereka—paling dekat dari gadis asing, tersenyum. Kemudian menyambut kedatangan gadis itu suka cita.

"Itu siapa, Da?" tanya umi penasaran saat gadis itu sudah memotong setengah jarak dari mereka.

"Rekan dulu sekelas, Umi. Waktu duduk di bangku sekolah dasar."

Umi ber-oh ria, begitupun dengan Zahra. Gadis itu menganggukkan kepala beberapa kali sembari mulutnya membentuk huruf "o". Sedangkan Hayfa, menatap gadis itu sedetik, kemudian mengajak umi dan Zahra pergi meninggalkan Huda dan gadis itu sendiri.

"Lho, kamu itu kenapa? Kok tidak bersama suamimu? Malah mengajak umi menjauh dari mereka."

"Tidak apa, Umi. Hayfa lelah hari ini, pengin cepat-cepat tidur." Hayfa pura-pura memijat belakang lehernya, gadis itu tidak terlalu suka kedekatan suaminya dengan gadis lain. Entahlah, bukankah cinta itu datang secara tiba-tiba? Bisa saja tadi saat kedua mata mereka bertemu, atau jangan-jangan ia sudah mencintai Huda, tapi setelah kepergian Ali baru terasa. Ia tak tahu yang benar yang mana. Namun, jika melihat suami yang baru ia cintai beberapa saat yang lalu bersama seorang gadis, hatinya benar-benar telah porak-poranda.

"Lah, nanti kalau fitnah gimana?" Kali ini Zahra yang bertanya kepada Hayfa. Gadis itu mengernyitkan dahi, menatap Hayfa yang sekarang menatap Huda.

"Nggak akan, Ra. Aku percaya sama Mas Huda," katanya masih belum melepaskan pandangannya ke arah Huda.

Umi dan Zahra mengangguk, kemudian menyambung jalan. Sebelum itu, Hayfa sempat mengirim pesan kepada Huda bahwa mereka akan kembali terlebih dahulu.

Langkahnya berat saat meninggalkan Huda. Sesekalia ia menengok ke arah Huda yang masih asyik bicara dengan teman lamanya.

"Beneran mau pulang saja?" Hayfa mengangguk, tersenyum mendengar pertanyaan umi. Mungkin ia terlalu mengkhawatirkan Huda.

Mobil itu melaju ke jalanan, di bawah terik sang surya yang menyirami bumi. Pagi tadi, hujan masih mengguyur. Kini tampaklah sebuah pelangi kontras yang indah bila dipandang oleh mata telanjang. Gadis itu menghela napas berkali-kali, tak memedulikan jalanan yang sudah dipadati mobil.

"Kamu sudah yakin mau tinggal di rumah yang pisah sama umi, Fa?" tanya umi memecah keheningan. Hayfa yang saat itu sedang menatap jalanan dari kaca segera mengalihkan pandangan ke arah umi.

"Iya, Umi. Mas Huda yang bilang sendiri mau ngerumah sendiri, takut kalau ngerepotin umi terus katanya."

Lengang, umi menghela napas berat. "Kalau itu perintah dari Huda ya sudah, tidak papa. Surga istri terletak di bawah kaki suami. Lagian itu juga risikonya punya anak gadis itu," candanya.

Hayfa dan Zahra diam, tidak ada yang bisa membalas candaan dari umi. Mereka kalut dengan perasaan dan pikiran masing-masing.

"Sudah beli?"

"Ngotrak, Mi, rencananya." Umi manggut-manggut.

"Kondisinya? Sudah ngecek?" Hayfa menatap umi dalam-dalam, kemudian menggeleng. "Hayfa percaya sama Mas Huda, Mi."

Umi mengangguk takzim, kemudian kembali menatap ke depan. "Hari ini kamu akan pindah ke sana?" Hayfa mengangguk mantap.

"Jangan sungkan-sungkan mengubungi umi, Fa. Anggaplah umi itu ibumu sendiri." Ia mengelus jilbab yang dikenakan Hayfa.

Hari ini mereka akan pindah ke rumah kontrakan. Umi berat hati sebenarnya, tapi jika kehendak suami, ia bisa apa. Hayfa mengetukkan kedua kaki hingga mengenai mobil.

Wanita itu berulang kali mengecek ponsel, hanya sekadar melihat notifikasi siapa tahu Ali sudah sampai, atau Huda mengirimi kabar agar segera pulang. Dan benar, beberapa detik setelahnya muncul notifikasi pesan dari Huda.

Maaf nanti aku pulang agak terlambat, Dik. Kalau mau ke kosannya dulu ya silakan. Nanti mas kirimin alamat lengkapnya.

Bersamaan dengan ia selesai membaca pesan itu, pesan kedua dari Huda yang menjelaskan alamat kembali masuk ke ponselnya. Ia segera meminta umi untuk mengantarkan ia ke kosan barunya.

Umi mengangguk, lalu mobil itu pindah haluan, mengikuti jalan yang terpampang di sebuah ponselnya. Sepanjang perjalanan tidak ada yang istimewa, hanya beberapa petak sawah yang menguning siap panen.

Beberapa menit menelusuri jalan, akhirnya mereka sampai di rumah yang dikontrak Huda. Alhamdulillah, tidak terlalu mengecewakan. Rumah itu masih terawat, dan sudah dari kemarin barang-barang mereka berada di sana, dibawa oleh Huda sebelumnya.

Luasnya pun bisa dibilang sangat baik. Dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan sebuah dapur. Tidak seistimewa rumah umi, tapi cukup untuk tinggal dua orang.

"Kamu tidak apa-apa di sini sendiri?" tanya umi saat melihat Hayfa yang sepertinya mulai mengakrabkan diri dengan lingkungan. Hayfa tersenyum, menggeleng.

"Nanti lama-lama Hayfa juga akan di sini. Sudahlah umi, jangan terlalu mengkhawatirkan Hayfa. Lagi pula, Hayfa di sini sama Mas Huda, kok. Tidak sendiri."

Setelah bercakap-cakap, setelah salat Asar rombongan umi pergi. Meninggalkan Hayfa sendiri. Wanita itu kali ini bahkan melihat foto-fotonya yang dipajang di kamar mereka. Ia tersenyum, selama itu Huda mencintainya. Mencintai dalam diam.

Bukankah ini saatnya ia melupakan Ali, dan mencintai Huda?

Saat ini, dada gadis itu tengah membuncah rasa cinta. Benar kata pepatah Jawa: Witing tresna jalaran saka kulina. Ia mengusap pigura foto mereka berdua saat akad.

Mas, aku akan berusaha mencintaimu.

Kemudian ia beranjak dari ranjang, mulai menyiapkan makan malam untuk Huda. Kali ini, ia yakin akan membalas cinta Huda.

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang