1 | Abbas Ali Zainul Muttaqin

8.1K 340 19
                                    

Seorang pemuda tengah memandangi sebuah buku bersampul putih. Mata pemuda itu telaten menatap satu per satu huruf yang terurai di dalamnya.

Rabiah Al Adawiyyah, begitulah judulnya. Buku bersampul gadis yang memiliki paras era pemerintahan Dinasti Umayyah itu selalu ada dalam genggaman sang pemuda.

Bibirnya bergetar, mengucap selawat nabi. Dada pemuda itu berdesir hebat, saat membaca penggalan demi penggalan kisah seorang mujahid, yang mampu melawan hawa nafsu dan dengan dunia tidak tertipu.

Kapan ia akan jadi seperti itu? Tidakkah boleh jika ia mengidolakan seorang sufi wanita seperti beliau, hanya karena ia seorang lelaki? Tidak pantaskah?

Dadanya bergemuruh, berdesir hebat. Terkagum-kagum dengan wanita hebat itu.

Dan benar, banyak sekali wanita-wanita Islam yang mengagumkan. Mereka tetap memegang teguh ajaran Rasulullah SAW. di antara gelimpangan maksiat yang mendera bumi, langit dan seisinya.

Ia menghela napas pelan, menatap jam yang terlingkar di pergelangan tanganan kanan.

"Kakak!" seru seorang gadis berbola mata cokelat, berkulit putih, dan berhidung runcing memandangnya.

Ia mendongak, memutar kepalanya beberapa derajat, lalu melihat adiknya sedang berada di ambang pintu.

"Hari pertamaku masuk ke sekolah. Tolong jangan merenggut itu dariku," kata gadis itu. Mengoceh setiap saat. Mengisi keheningan yang selalu ada mengelilingi pemuda yang dipanggilnya kakak.

"Aku tidak akan membiarkanmu telat lagi. Aku tahu itu." Pemuda itu kembali menatap ke buku yang dibawa, sedetik.

"Makanya, cepet turun, dong!" perintah gadis itu.

Tak habis pikir, kenapa ia memiliki kakak seperti dia. Ali, yang seharusnya orang memandang parasnya ramah, nyatanya berbanding terbalik.

Lelaki itu bahkan menatap perempuan selain umi dan ia saja enggan.

"Li, bagaimana perasaanmu? Ini hari pertamamu menjadi guru, loh?" Umi berujar sembari menyiapkan piring di meja. Tangan putih keriputnya dengan terampil menguasai meja makan.

Ali menghela napas pelan. Duduk di samping adiknya, Hayfa.

"Tidak ada perasaan apa-apa, Mi," kata Ali jujur. Bagaimanapun juga, ia tidak ada rasa grogi atau semacamnya itu. Padahal, baru saja diterima seleksi CPNS.

Awalnya pemuda itu resah, karena hanya ia yang mengikuti tes CPNS dengan usia yang masih belia. Dua puluh dua tahun. Apalah ia dibanding senior-senior yang sudah berpengalaman? Tetapi, lagi-lagi kehendak Allah SWT. lain.

"Pokoknya, Kakak harus makan cepet!" Hayfa bersungut-sungut, menatap Ali yang sedang memasukkan makanan ke mulut. Umi menggeleng. Bagaimana bisa ia punya anak seperti Ali? Kemudian tersenyum.

***

Abbas Ali Zainul Muttaqin, begitulah nama pemuda itu. Pemuda yang terkenal akan kezuhudannya, piawai dalam menjaga pandangan, selalu mengagungkan nama Allah SWT. dan menjunjung tinggi Kekuasaan-Nya. Tak henti-hentinya bibir pemuda itu bertasbih.

Lihatlah, pohon-pohon yang dilewati mereka terkena sapuan angin. Mereka tunduk, bertasbih kepada Sang Pencipta. Bukankah ia akan merasa malu jika tidak melakukannya? Malu dengan pohon dan bunga yang tidak diberi akal oleh Sang Khalik.

Pemuda itu, dengan alis basah akibat wudu, dengan bibir basah akibat terlalu banyak melafalkan tasbih, kini berhenti sejenak di persimpangan jalan.

Setelah itu, bibir Ali kembali bergerak. Bukan karena membaca Asmaul Husna, melainkan murajaah hafalan Alqurannya yang sudah mencapai juz 26. Nadanya indah, mengalun merdu bak melankonis.

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang