20 | Selamat Jalan Ali

2K 132 1
                                    

Kawasan pasar padat oleh para pengunjung. Hiruk-pikuknya cukup mengganggu telinga bila sengaja didengar. Pengunjungnya pun beragam. Ada yang memakai caping terbuatkan kayu, ada yang tidak memakai apa-apa di kepala.

Orang berlalu-lalang pun tidak sedikit. Ada yang sendiri, bergerombol sambil berbicara, atau ada pula yang berjalan bersama pasangan kemudian memutuskan untuk mengunjungi warung makan kecil-kecilan yang tak jauh di sana di tengah-tengah keramaian kota.

Mungkin, Ali dan Zahra adalah tipe yang terakhir. Bedanya, mereka hanya duduk-duduk. Menikmati cakrawala yang membentang dengan sapuan warna jingga yang menambah kesan epik bila dilihat sejauh mata memandang.

Bunyi klakson mobil kadang memenuhi gendang telinga mereka. Mobil-mobil mewah tak ingin ikut kalah, mereka berjejer melewati jalanan utama pasar yang sangat sesak.

Ali menghela napas, akan membutuhkan waktu yang lama jika mereka terus-terusan duduk dan menikmati keindahan alam. Dalam hatinya ingin sekali mengajak gadis itu pulang. Namun, keinginan itu tertebas saat Zahra mengatakan jika langit hari ini cerah.

"Mengapa senja begitu indah?" tanya Zahra pada diri sendiri. Sebuah ulasan senyum hadir di kedua bibir merahnya. Sinar yang menerpa wajahnya pun ikut membuat gadis itu seolah-olah istimewa di mata Ali.

Perlahan, Ali menarik sudut mulutnya hingga menimbulkan senyum segaris. Gadis itu cantik, benar-benar cantik apalagi jika terkena sapuan cahaya matahari. Wajahnya yang memesona bersinar terang bagaikan rembulan malam.

"Kok diam?" Merasa diperhatikan, Zahra gantian menatap Ali dengan wajah sinis. Yang ditatap salah tingkah, kemudian nyengir kuda.

"Jangan lihat-lihat, nanti suka loh," kata Zahra sembari tersenyum. Matanya ia alihkan ke jalanan utama, menatap lalu-lalang mobil yang melaju demi untuk menutupi pipinya yang merah merona.

Jarak mereka tak terlalu jauh, namun juga tak terlalu dekat. Dari jarak seperti itu, ia dapat melihat Zahra yang mengeluarkan semburat rona merah di wajahnya. Refleks, ia terkekeh.

"Gitu ya? Ngomong-ngomong, kemarin yang ngelamar duluan siapa?" Kekehan pemuda itu kian menjadi saat melihat wajah Zahra yang tertekuk.

"Memangnya memalukan ya kalau yang nembak perempuan dulu?" Zahra bersungut-sungut, perkataan Ali barusan cukup menimbulkan sebuah goresan dalam hati.

"Menurutku tidak, Ra. Selagi mengajak menuju kebaikan, mengapa harus menunggu sang laki-laki?"

"Apalagi kalau laki-lakinya tidak peka seperti Kakak," ujar Zahra, kemudian tertawa lepas, mendongak menatap penghujung senja yang semakin memanjakan mata.

Tak jauh dari sana, Hayfa tersenyum kecut, batinnya tengah merintih.

Mereka cocok. Dibanding Zahra, apalah aku?

***

Hujan mengguyur bumi saat Ali hendak mengemasi barang-barangnya dibantu Zahra dan Hayfa. Tempiasan air yang mengenai permukaan genting menimbulkan suara rintik-rintik yang khas. Aroma tanah basah akibat hujan pun melekat di hidung mereka.

"Sepagi ini, Li?" tanya umi sembari tersenyum, walau hatinya sedang kacau. Ali ikut tersenyum, menatap mata umi penuh arti.

"Iya, Umi. Bukankah lebih cepat lebih baik?" Ali yang sedari tadi sibuk mengemasi barang, kini berhenti menatap kembali wajah umi yang sudah mulai keriput. Ia tahu jika umi sedang mengkhawatirkan dirinya jika dilihat dari raut wajahnya yang sendu.

Pagi telah datang, aroma air hujan yang semalam turun masih tersisa. Mentari mulai naik perlahan-lahan hingga membius setiap embun pagi yang menetap di daun-daun hijau.

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang