3 | Bisakah Menjadi Fatimah?

3.3K 243 9
                                    

Jika aku tidak bisa menjadi Khadijah, bisakah aku menjadi Fatimah saja?

"Kamu ...." Hayfa yang mendengar itu langsung menatap wajah Ali.

Tidak berbeda jauh dengan Hayfa, pemuda itu bahkan lebih-lebih terkejut dari adiknya. Bagaimana bisa? Seorang gadis yang baru seminggu yang lalu bertemu dengannya, dan itu bukanlah pertemuan disengaja, tiba-tiba langsung berkata seperti itu tanpa keraguan?

Bukankah seharusnya gadis belia seperti Zahra seharusnya memikirkan pelajaran? Mengapa malah terang-terangan mengungkapkan rasa kepada seorang pemuda? Bukankah itu tidak masuk akal?

"Mengapa?" tanya Zahra melirih saat melihat wajah Ali datar, diam tidak berucap sepatah kata pun. Ali menghela napas, mengalihkan padangannya ke bawah. Melihat gadis di depannya secara terus-menerus menimbulkan zina.

Wajah Zahra kini lebih serius dari sebelumnya. Menatap Ali yang bahkan menatapnya saja enggan. Mengapa sombong sekali? Diajak berbicara tetapi tidak menatap lawan bicara.

Hayfa yang menatap kejadian ini pun ikut bungkam. Ingin mengatakan sesuatu yang selama ini tertahan masih saja belum bisa. Sesuatu itu seperti belum ingin melepaskan diri dari kerongkongan.

"Tidak baik berbicara seperti itu, Ra. Jangan main-main." Akhirnya Ali membuka mulut setelah beberapa detik hening. Jarak dapur dari ruang televisi pun dibilang agak jauh, jadi umi tidak bisa ikut mendengar kejadian langka ini. Kejadian gadis yang menyatakan cinta kepada seorang pemuda.

"Aku tidak bercanda, Kak Ali."

Di usia Zahra yang masih terbilang belia, bukankah hatinya masih labil?

"Iya, tapi seharusnya yang berkata seperti itu bukan wanita, tapi-"

"Kakak penggemar sejarah, kan? Sudah berapa banyak sejarah yang kamu ketahui? Peristiwa Konstantinopel, Zaman Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Perang Salib, atau sampai peristiwa Islam tentang Dracula, Sang pembantai kaum Islam? Sejauh itukah sampai Kamu melupakan sebuah sejarah Islam yang di mata dunia menjadi salah satu sejarah romantis, melebihi keromantisan budaya Barat dalam merajut sebuah kasih?"

Diam, mereka bertiga diam. Baik Hayfa maupun Ali, bahkan sampai sekarang masih tidak percaya dengan hal tak terduga ini. Benar-benar di luar dugaan dan tidak bernalar.

"Apakah Kamu melupakan peristiwa saat Khadijah melamar Rasulullah SAW.? Lantas, coba jelaskan, di mana letak kesalahanku? Apakah salah, jika aku ingin menjadi Khadijah yang akan mengutarakan maksud hatiku kepada seorang pria yang selama ini menjadi dambaan hatiku?" Napas Zahra naik turun, mencoba mengontrol emosinya.

Dada gadis itu bergemuruh, sesak menguasai hati saat melihat Ali belum saja beranjak untuk sekadar membalas semua perkataannya.

"Memang, aku tahu jika aku tidak sekaya dan setakwa Khadijah, tetapi ... cobalah sedikit mengerti perasaan selama ini yang baru bisa kuutarakan. Tahukah kamu, beberapa tahun aku telah memendam rasa ini dan menjaga untukmu, lalu saat tepat waktunya mengatakan, tingkahmu malah seperti itu?"

Deg!

Beberapa tahun?

Kali ini Ali mengangkat kepala, menatap Zahra yang juga menatapnya. Mata gadis itu berkaca-kaca. Mata dan hidung gadis itu memerah. Entahlah, bagaimana perasaan Zahra saat ini. Hanya satu yang dapat mendeskripsikan hatinya kini: Seperti serpihan kaca. Remuk, benar-benar remuk.

"Beberapa tahun?" tanya Ali, kemudiab kembali menjaga pandangan. Sukses membuat hati Zahra kembali remuk.

Setidaksudikah pemuda itu kepadanya, hingga untuk menatap saja tidak mau?

"Ya ... selama ini, aku mengagumimu. Mengagumi dalam diam, menatap dari jauh, dan meratap setiap kali melihatmu membelai jilbab Hayfa. Rasanya, aku benar-benar ingin di posisinya. Saat itu, kamu tengah berlarian mengejar sebuah bus untuk masuk SMA, bukan? Aku menyukai saat-saat itu. Saat di mana aku dapat melihatmu bersender di kaca, dengan setiap pagi membawa tidak lebih dari dua buku sejarah. Membaca dengan teliti, membuka lembaran demi lembaran dengan dahi sesekali mengerut. Lucu memang jika aku menyukaimu sejak aku masih kelas satu SMP.

"Sayang, cinta itu hanya bertahan selama kurang lebih empat bulan. Kalian pindah ke ibukota, kemudian tidak ada kabar lagi. Kucari-cari rumah kalian, hanya satu kabar yang cukup membuat hatiku kembali mengagumimu: Kamu lulus dari Universitas Al Azhar, Cairo dengan prestasi yang membanggakan. Siapa yang tidak akan mengagumimu?" Zahra berujar pelan. Kata demi kata seperti peristiwa sejarah bagi Ali, memberikan goresan ingatan di masa lalu. Cerita yang baru saja didengar seperti hidup, bernyawa sampai ke relung hati. Sejarah yang benar-benar sejarah kali ini di dalam hidupnya.

Benarkah Zahra mengenalnya selama itu?

"Dan saat aku mendengar kepulangan kalian, cintaku kembali membuncah. Kemarin, saat tidak sengaja aku melihatmu berjalan-jalan dengan Hayfa, cinta itu kembali bersemi. Terlebih saat aku mendengar desas-desus akan ada guru baru jebolan Al-Azhar Cairo sana. Hatiku benar-benar berdebar. Aku ... benar-benar ingin mengungkapkan perasaan ini sebelum kamu akan pergi lagi. Aku takut akan hal itu.

"Mulailah dari situ, aku mendekati kalian. Pura-pura tidak mengenal. Kemudian saat kamu mengemudi sendiri, aku berakting menjadi seorang gadis yang akan mencari taksi. Awalnya, aku tidak yakin itu akan berhasil. Ternyata, sikapmu demikian. Membuatku tambah jatuh hati kepadamu.

"Dan ... saat inilah, saat di mana waktu memihak kepadaku. Memihak untuk mengutarakan semua maksud dan rasa hatiku. Sayangnya, kali ini takdirlah yang tak memihak kepadaku. Kamu saja bahkan tidak mau menatapku saat kita berbicara. Sehina itukah aku?" tanya Zahra, intonasinya bergetar, memecah keheningan suara. Lirih sekali, hingga membuat siapa saja yang mendengarnya akan terenyuh.

Masih tidak ada jawaban. Ali tidak dapat berkata apa-apa. Kejadian ini benar-benar membuatnya syok. Pun dengan Hayfa, biang dari kejadian ini. Padahal, tadi ia hanya berharap Zahra akan mengomel sepanjang hari kepada Ali. Namun ini ... benar-benar di luar dugaan.

"Sepertinya aku memang salah sejak dulu. Mengambil keputusan dengan gegabah. Melabuhkan hati kepada orang yang salah, kemudian menanti cintamu di samudera pengharapan. Berharap secuil hatimu mampu luluh olehku. Sayang, aku terlalu berharap menjadi Khadijah yang padahal bisa saja kamu bukan Muhammad."

Kali ini, tangis gadis itu pecah. Beberapa menit terakhir mata sembapnya mampu menahan linangan air mata. Sayang, kali ini air mata itu tidak bisa lagi terbendung. Mati-matian ia menjaga, akhirnya bisa meleleh juga. Hatinya sesak, benar-benar sesak.

Dalam tangis bisunya, ia tersenyum kecut, menatap Ali yang belum saja tergerak hatinya. Bukankah sejak tadi ia mengoceh? Apakah ocehannya itu belum mampu membuat Ali membuka hati? Atau setidaknya bersimpati. Memberikan jawaban atas perasaannya saat ini. Cinta atau tidak. Itu saja jawaban yang dibutuhkan.

Hayfa ikut menunduk, tidak berani mendongak di saat-saat seperti ini. Hatinya ikut sakit dan terenyuh. Entahlah, ia ingin menangis saja.

"Maafkan atas kelancangan dan keegoisanku. Terima kasih, selama ini pernah mewarnai hari-hariku dengan senyum indahmu. Selamat sore, semoga harimu menyenangkan."

Tepat saat kata itu berhenti terucap, Zahra mengambil tas dan berjalan ke luar rumah. Hatinya tengah sesak sekarang. Ingin menangis sekencang-kencangnya dan memberi tahu kepada dunia.

Sekali ... saja.

"Assalamualaikum," katanya sembari keluar. Dadanya semakin sesak, ia bisa merasakan bagaimana sikap Ali tadi kepadanya. Ia menyeka air mata di sepanjang jalan.

Sayang, walaupun sudah diseka, air matanya enggan untuk berhenti.

Jika aku tidak bisa menjadi Khadijahmu, bisakah aku menjadi Fatimahmu?

Begitulah katanya dalam hati. Ia ... benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.

Ia memberhentikan langkah saat melihat hamparan perbukitan yang luas. Bolehkah sekali ini saja, ia mengutarakan rasa sakitnya kepada dunia?

Dengan sesekali menyeka air mata, akhirnya ia bersuara, "Ya Allah ... mengapa aku mencintainya?"

Sebegitu menyakitkankah rasa cinta?

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang