15 | Perjodohan

1.8K 130 0
                                    

Suara Zahra tiba-tiba memekakkan telinganya saat sedang mencuci kain lap.

"Fa, umi sudah bangun." Suara itu semakin jelas seiring dengan Zahra yang berlari mendekatinya.

Senyum merekah hadir di bibir mungilnya tatkala mendengar kabar bahagia itu. Dengan wajah berseri, ia bertanya, "Benarkah?"

Zahra mengangguk, kemudian membalas senyum Hayfa.

"Sepertinya, perkataanmu beberapa saat yang lalu benar. Ditungguin sama calon menantu itu juga berpengaruh, ya?" tanya Zahra kepada Hayfa sambil tersenyum. Yang diajak tersenyum pun membalas, walaupun senyum yang tersaji adalah senyum kecut.

Mereka berjalan mendekati kamar umi dengan wajah berseri. Sesekali, langkah kecil Zahra menyeimbangi Hayfa yanv melangkah dengan terburu-buru. Ingin rasanya ia mendekap dan memeluk uminya itu.

Wajah yang berseri itu berubah menjadi terenyuh saat mata mereka menatap Ali yang sedang bersimpuh di hadapan umi dengan berlinangan air mata.

"Umi ...," kata Ali melirih. Nadanya bergetar, membuat siapa saja yang mendengar akan merasakan kesedihan yang menjalar sampai hati.

Umi tersenyum, mengelus lembut kepala anak semata wayangnya dengan penuh sayang. Baginya, tidak ada yang lebih menyedihkan saat ini dibanding melihat buah hatinya uang sudah dewasa ini mengeluarkan air mata.

"Maafkan Ali, Umi ... yang dengan lancangnya menyuruh Umi untuk menyetujui keegoisan Ali. Maafkan Ali, Umi. Kumohon ..., maafkanlah Ali, Umi ...." Suara parau itu memecah keheningan. Ali dengan segala rasa hormat tak henti-hentinya melepas bibirnya untuk mencium tangan umi.

Bagaimanapun juga, ia merasa bersalah. Sangat-sangat bersalah.

Bagaimana tidak? Berapa lama ia kuliah di universitas Islam bergengsi, sedang untuk birul walidain saja ia tidak bisa? Bukankah sia-sia saja, menyandang gelar sarjana dan peraih nilai tertinggi Universitas Al-Azhar tetapi tidak paham dengan materi berbakti kepada orang tua?

"Sudah, Li, sudah .... Umi tidak pernah menyayangkanmu untuk ke sana. Umi tahu jika kamu punya niat yang bagus untuk ke sana. Tapi, umi tidak sanggup membayangkan kehidupanmu di sana, Li. Apakah kamu benar-benar akan makan nasi di sana? Apakah tidurmu juga akan senyenyak tidur di sini? Bagaimana kalau kamu tidur di sana dengan beralas tikar, Li?" Air mata umi pecah. Wanita paruh baya itu menangis tersedu sembari memegang pipi Ali dengan penuh sayang.

"Tapi, kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Insya Allah umi rela. Apalagi kalau kamu akan melaksanakan tujuan muliamu di sana. Semoga Allah selalu bersamamu, Li ...."

Haru menguasai mereka. Umi menangis tersedu-sedu di depan Ali yang berusaha untuk tidak menangis.

"Syukron Umi, syukron .... Sudah mau menuruti dan melepaskan Ali dengan lapang dada di mata Umi."

Air mata Hayfa ikut meleleh, melihat peristiwa mengharu biru itu terjadi. Pun dengan Zahra, walaupun ia sama sekali tidak tahu dengan apa yang sedang mereka tangisi, namun menilik dari percakapan yang berhasil ia dengar, sepertinya Ali akan pergi ke suatu tempat yang jauh. Tapi itu bukan masalah besar. Bukankah ke mana pun Ali pergi, ia akan tetap diboyong.

"Umi, umi tidak usah khawatir. Biar Ali carikan pengganti Ali untuk menjaga Umi."

Diam. Semua diam. Tidak ada yang tahu apa maksud yang dikatakan oleh Ali barusan.

"Ali akan carikan pemuda untuk menjaga umi."

"Siapa?"

"Calon suami Hayfa."

DEG!

Seakan disambar petir, hati gadis itu seperti terbelah.

Maksudnya apa?

"Bukankah Umi sudah pernah bilang, kalau Ali disuruh mencarikan jodoh untuk Hayfa? Insya Allah, Ali punya, Mi."

Umi diam, menatap Hayfa yang mukanya tidak dapat dideskripsikan. Perasaannya tengah campur aduk.

"Ali punya teman waktu mondok dulu ke Magelang, Mi. Mungkin cocok untuk Dik Hayfa. Insya Allah bisa membahagiakan hatinya."

Umi kembali menatap Hayfa dalam-dalam. Kali ini, ia dapat menangkap suasana hati Hayfa yang kembali diterpa oleh badai.

Ingin ia berkata kepada Ali: Mengapa dia? Benarkah bisa membahagiakan, jika aku saja jatuh hatinya kepada Kakak? Benarkah rumah tangga tanpa didasari cinta akan bahagia?

Hayfa menunduk. Menatap lantai keramik yang terbuat dari pualam itu.

"Mengapa kalian tidak memberitahuku?"

Senyum Ali yang tadi mengembang sekarang berangsur memudar. Ia mengerutkan dahi, seperti ada kejanggalan.

"Loh, Umi belum bilang ke Hayfa?" tanya Ali setelah menyadari kejanggalan tersebut. Umi yang tadi menatap Hayfa kini beralih memandang Ali sendu.

Beberapa detik menatap Ali, umi kembali menatap Hayfa.

"Umi bisa menjelaskan, Fa. Ke sinilah sebentar. Akan umi ceritakan sesuatu yang belum kamu ketahui."

Hayfa diam, tak ingin untuk bergerak mendekati umi. Bagaimana tidak? Bukankah hak-haknya seperti sudah dirampas oleh umi?

"Umi mohon, jangan membenci umi. Ada alasan umi melakukan semua ini. Dan ini ada sangkut pautnya dengan orang tuamu."

Mata indah Hayfa membulat sempurna.

"Orang tuaku?"



Tadaaa! Maafkan aku yang ngetik segini doang. Ahaha, happy reading kawan :)
Jangan lupa nyoblos, ya :) gunakan hak pilih dengan sebijak-bijaknya.

Syukron katsiir.

Salatiga, 17 April 2019

Salam hangat,
Alifah Fitry

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang