12 | Hatinya Kembali Retak

1.9K 134 0
                                    

Suasana di kamar cukup dingin. Beberapa hari ini hujan mengguyur kota, memakan hawa panas yang tadinya menguasai atmosfer.

Hayfa tengah mengerjapkan mata beberapa kali di depan cermin. Matanya sembap, beberapa hari ini ada sesuatu yang cukup meresahkan hati dan menusuk sanubari. Beberapa saat yang lalu, keluarga Zahra datang kemari untuk merundingkan tanggal pernikahan mereka.

Umi, Ayah Zahra, dan ibu Zahra pada saat itu terlibat percakapan serius. Sebagai orang tua, mereka harus bisa memikirkan matang-matang tentang kemungkinan yang akan terjadi pada anak-anaknya. Ayah Zahra meminta untuk mempercepat akadnya agar tidak menimbulkan zina.

Berbanding terbalik dengan Ayah Zahra, umi malah khawatir dengan Ali. Ia belum mampu membayangkan bagaimana putra semata wayangnya itu akan memimpin rumah tangga dalam usia yang terbilang masih muda? Bisakah Alinya memikul beban sebagai seorang kepala rumah tangga?

Namun, Ali dan Zahra sudah sepakat. Mereka mempercepat tanggal pernikahan mereka atas dasar apa yang dipikirkan oleh Ayah Zahra. Jika sudah seperti itu, umi hanya bisa diam dan pasrah. Benar, umi adalah walinya. Namun, kehendak sudah ia limpahkan kepada Ali. Anak yang dulu ada dalam gendongannya sudah tidak kecil lagi, mampu membedakan dan memilah sendiri jalan yang terbaik untuknya sendiri.

Kemarin, agenda pernikahan mereka adalah seminggu setelah Ujian Nasional selesai. Namun sekarang, tepat sehari setelah ujian itu selesai, mereka akan melangsungkan akad nikah. Pernikahan ity diajukan seminggu. Umi, Ayah Zahra, Ibu Zahra, Ali, dan Zahra sendiri sudah menetapkan tanggal mainnya.

Setelah beberapa jam larut dalam keseriusan, mereka akhirnya kembali cair. Sesekali dua pertemuan keluarga itu diisi oleh pembicaraan hangat umi dan Ibu Zahra. Katanya, mereka berdua dulu pernah sepondok saat ngaji ke Magelang. Seperti sudah ditakdirkan, Ibu Zahra demikian. Umi hanya tersenyum.

Di antara kehangatan percakapan yang kadang diisi humor oleh Ayah Zahra, mereka tidak luput oleh hal-hal penting pernikahan-mereka menyelipkan hal-hal penting seperti masakan, orang-orang yang akan rewang, dan lain-lain.

Saat itu, Hayfa hanya mendengar samar-samar di ruang keluarga pura-pura menonton televisi. Kebetulan sekali, ruang keluarga berjejer dengan ruang tamu. Dengan demikian, jika ia menempelkan telinga ke tembok, gema suara itu akan terdengar dan mengalun di gendang telinga.

Sebelum keluarga Zahra ke sini, umi sempat mengajaknya untuk keluar. Namun, Hayfa tak mau. Ia beralasan hari itu ingin belajar dulu, Ujian Nasional tinggal menghitung hari.

"Nanti kalau Zahra menanyakan tentangmu, umi harus bilang apa, Fa?"

"Bilang saja sebentar lagi ujian nasional. Hayfa sedang belajar untuk menyambutnya, Mi."

Setelah mendengar perkataan Hayfa barusan, umi segera keluar dari kamar. Menerima tamu terhormat bagi mereka. Ternyata, ayahnya Zahra adalah seorang arsitektur yang andal. Diam-diam saat mereka berbincang, Zahra mulai turun dan menguping.

Air mata Hayfa meleleh saat kembali mengingat itu.

Sejak hari itu ia kembali mengurung diri di kamar, mendekatkan diri kepada Allah. Menahan galau yang melanda hati melalui rekaat demi rekaat salat. Mencurahkan seluruh isi hatinya tentang semesta kepada Sang Pencipta setelah salam di waktu sepertiga malam. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Mendekatkan diri kepada Allah, meminta agar hatinya tetap sabar.

Bukankah jika benar-benar jodoh akan bertemu? Mengapa ia begitu khawatir?

Ia kembali menatap diri di cermin. Netra sembap itu masih ada. Dengan khasnya, warna kemerah-merahan akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata.

Ia sudah saatnya melupakan. Tidak baik terlalu jauh berharap. Terlebih lagi berharap kepada seseorang yang akan melangsungkan akad nikah dengan sahabatnya sendiri.

Gadia itu menghibur diri, hawa dingin kini tak lagi dirasa. Matahari telah naik perlahan, semburat cahayanya menerpa badannya. Setidaknya, inilah kemunculan sinar Matahari setelah beberapa lama tidak terlalu jelas. Atau pertanda ... jika ia akan mulai terbuka dengan ini semua?

Tabah memeluk sesuatu yang menyesakkan dada? Ini sudah lima hari sejak keluarga Zahra datang ke sini. Itu tandanya pula, dua hari lagi ujian nasional akan diselenggarakan.

Dalam relung gadis itu menyelinap rasa tak tenang. Ia takut kalau-kalau hasil belajarnya kali ini tidak akan memuaskan dada. Beberapa bulan terakhir, gadis itu sudah banyak memikirkan sesuatu. Baik terkait ia yang menjadi anak angkat, maupun Ali yang sebentar lagi akan menikah dengan Zahra, sahabat sekaligus teman sebangkunya.

Tiba-tiba perutnya keroncongan. Perut memrotes dirinya karena beberapa hari ini ia tak makan secara teratur, terlalu banyak mengeluarkan air mata tanpa memakan makanan yang cukup. Bahkan dari kemarin, ia tak merasakan lapar jika umi tidak langsung menghampirinya mengantarkan makanan.

Dari situ, ia jadi mengerti. Umi adalah umi. Ibu kedua setelah ibu aslinya-yang entah namanya siapa. Umi tidak membedakan atau memperlakukannya layaknya seorang anak angkat, tetapi sudah dianggap menjadi anak sendiri. Ia jadi merasa bersalah pernah marah dengan umi gara-gara berencana tidak ingin memberitahukan posisinya di keluarga itu. Hayfa benar-benar salah besar.

Perlahan ia berjalan ke dapur, satu per satu menuruni anak tangga dengan hati-hati.

Tepat di ruang keluarga, mata gadis itu sempat mencuri-curi pandang wajah Ali yang berseri menatap sebuah kertas. Layaknya siswa yang mendapat nilai tertinggi di kelasnya. Mata pemuda yang teduh itu berbinar, kemudian tersenyum bahagia.

Hayfa yang melihat itu cepat-cepat beristigfar, kembali menenggelamkan diri dengan asma-asma Allah SWT.. Sejak peristiwa di pantai lalu, ia belum ada kesempatan kembali berbicara kepada Ali. Seakan hubungan mereka sekarang regang. Hayfa yang di kamar sibuk belajar-selain menangisi Ali, dan Ali yang terlalu sibuk dengan tugas anak-anak.

Hayfa segera membuang perasaan itu. Ia tak mau kembali berlarut-larut terjembab pada lubang hati yang tidak untuk miliknya. Dengan segera ia mengambil gelas, mengisinya dengan air.

Kerongkongannya terasa lebih mendingan dari biasanya. Ia mengucap syukur, mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Setelah itu, menatap jam dinding. Celingak-celinguk mencari seseorang.

Biasanya, pada waktu delapan pagi di hari Minggu, umi menyuruhnya untuk membantu memasak. Katanya biar Hayfa bisa memasak.

"Kalau tidak bisa memasak, bagaimana nanti kamu memberi makan suami dan anak-anakmu? Suami akan betah denganmu kalau bisa memasak. Memangnya kamu mau, rumah tanggamu itu pecah gara-gara suami tidak betah di rumah lantaran tidak pernah diberi makan atau dimasakkan istri?" Umi mewanti-wanti, yang cukup membuatnya terkekeh kecil. Ia benar-benar salah menilai umi. Setelah ia mendengar kabar tentang anak angkat itu, ia jadi selalu berpikiran negatif tentang umi.

Astagfirullah ....

Tiba-tiba, telinganya menangkap suara bising. Suara itu bermuara dari belakang. Perlahan ia memudar badan, mencari sumber suara.

"Fa, aku ingin berbicara denganmu."





Salatiga, 7 April 2019

Salam hangat,
Alifah Fitry

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang