Sinar belum tampak saat Hayfa terbangun dari tidur. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari sesuatu. Mata wanita itu terbelalak saat melihat jam dinding menunjukkan pukul empat Subuh. Sesegera mungkin ia berjingkat dan buru-buru mencari batang hidung suaminya.
Mulai dari ruang tamu, kamar, hingga kamar mandi. Semua ruangan telah dia sisiri, tapi Huda tak nampak.
Hayfa menahan napasnya yang masih memburu. Beberapa kali berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain membuat keringat menetes perlahan ke dahinya. Tiba-tiba hatinya menyelinap rasa cemas. Tidak ada tanda-tanda jika Huda tadi malam pulang.
Bagaimana ini?
Langkahnya dia percepat menuju kamar, lalu mengambil ponsel di nakas. Saat hendak menelepon Huda, tiba-tiba datang notifikasi telepon dari umi.
"Assalamualaikum, Fa?"
"Waalaikumussalam, Umi. Ada apa menelepon subuh-subuh begini?"
Angin pagi menyeruak dan menyentuh setiap urat nadinya. Perempuan itu sedikit menggigil, saat semilir angin berhasil menerobos kulit hingga ke tulang-belulangnya. Dalam keadaan genting seperti ini, hanya umi yang biasanya ada dan hadir untuk menemani dirinya.
Setidaknya dia sedikit bangkit dari keterpurukan saat mendengar suara wanita yang begitu dicintai.
Lama dia menunggu jawaban dari umi, hingga beberapa kali ia menggigit bibir bawah. Menahan setiap embusan angin pagi yang mampu menggigilkan dirinya.
Tiba-tiba suara di seberang sana tertawa. Sontak, dia terkejut bukan kepalang. Apa ada yang salah dari pertanyaan yang dilontarkan beberapa menit terakhir?
"Kamu itu ada-ada saja. Seorang umi ingin menelepon anaknya bukannya senang malah ini bertanya. Memangnya, umi harus menunggu waktu-waktu yang sulit baru akan menghubungimu?"
Hayfa tersenyum. Kali ini, tubuhnya sedikit menghangat. Walaupun embusan udara pagi masih menusuk tulang-belulangnya, hanya dengan mendengar suara umi cukup mampu membuat badannya merasakan kenyamanan.
Obrolan mereka pun terus berlanjut. Umi menelepon di saat yang tepat. "Setelah bangun dari tidur aku segera meneleponmu, kamu tidak apa-apa, kan? Ah, maksudku ... malam ini tidak terjadi apa-apa, kan? Umi terlalu khawatir denganmu yang pertama kali tidur tidak seatap dengan umi. Betah tidak di sana ...?"
Senyum Hayfa perlahan menghilang. Apa yang harus dikatakan kepada umi? Apakah menjawab sejujurnya, atau sebaliknya? Berpura-pura tidak ada apa-apa. Menganggap kejadian ini hanya lelucon semata yang dibalut dengan mimpi yang memanjakan tidur setiap manusia?
"Tidak apa-apa, kan? Bisa menjawab pertanyaan umi barusan, Fa?"
"Eh?" katanya sedikit kaget, umi telah memecah lamunan perempuan itu dengan tepat. "I-iya, Umi ... Hayfa baik-baik saja. Jangan khawatir."
Keduanya menghela napas panjang. Umi yang bersyukur ternyata instingnya salah, dan Hayfa yang telah berhasil membohongi umi. Berbohong untuk kebaikan, tidak apa-apa, kan ...?
Pembibicaraan itu semakin menghangat. Telepon disudahi saat azan Subuh telah berkumandang.
"Wassalamualaikum warohmatullah wabarokatuh." Sambungan itu diputus Umi setelah Hayfa menjawab salam. Perlahan dia berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.
***
"Apa dulu ibu Hayfa memberikan tanda-tanda sedikit kepada Umi? Misalnya memberi alamat rumah? Atau nomor telepon?" tanya Hayfa kepada umi saat duduk di sofa. Ditemani Zahra di sampingnya, mata perempuan yang baru saja menikah itu mengerjap beberapa kali, menunggu jawaban dengan berharap akan mendengar kabar yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]
EspiritualIa ingin seperti Rabiah Al Adawiyyah, seorang sufi yang begitu kukuhnya cinta kepada Allah. Saking takwanya, hingga ia tak goyah sedikit pun dengan godaan nafsu pada saat Alquran sudah hilang tergerus zaman. Itulah cinta yang hakiki. Cinta yang mele...