6 | Takluknya Hati Seorang Pemuda

2.6K 179 0
                                    

"Sungguh, andai diperbolehkan memilih, aku lebih memilih untuk tidak dikaruniai cinta, jikalau dikaruniai malah membuatku lupa kepada-Nya."


"Aku berangkat sama Zahra ya, Kak. Assalamualaikum." Hayfa buru-buru menyambar tas yang ia gantungkan di kursi yang diduduki.

Sedetik, seperti sapuan cahaya Matahari menerpa wajah gadis berjilbab putih itu. Senyumnya hangat, dengan bola mata teduh. Zahra tersenyum.

Ali, yang menatap kejadian itu sedetik buru-buru beristigfar, kemudian mengelus dada. Sungguh, setan telah menyesatkan manusia dengan segala cara. Celakanya, semua cara itu mampu membuat setiap manusia tergiur akan kenikmatannya.

Nikmat yang sesaat.

Sayang, nikmat yang sesaat itu oleh para sebagian manusia masih dinikmati, padahal sudah jelas-jelas ganjarannya tiap mereka melakukan hal-hal itu adalah Jahanam.

Dada pemuda itu berdesir, menatap kedua gadis yang kini tengah masuk ke mobil Zahra.

Sungguh, seandainya diperbolehkan memilih, ia lebih memilih untuk tidak dikaruniai cinta, jika dikaruniai malah membuat lupa kepada-Nya.

Matanya terpaku saat melihat semburat cahaya Matahari menerpa wajah Zahra. Dadanya bergetar hebat, menyaksikan seorang gadis yang tengah bermandikan cahaya sang surya keemas-emasan. Jilbab putih seragam yang menjuntai menambah pesona. Sudut bibirnya mengembang, mengalahkan cahaya mentari. Sesekali mengerjap saat matanya terkena silau baskara yang mengenai badan mobil.

Semua itu selesai saat dua gadis itu benar-benar masuk ke mobil. Selang beberapa detik kemudian lenyap bak ditelan Bumi.

Kejadian itu hanya terjadi beberapa detik. Sekejap.

"Li ...." Sebuah tangan lentik merangkup bahunya. Seketika lamunan tentang gadis bernama Zahra itu terpecah. Umi, yang sejak tadi menyaksikan peristiwa itu hanya bisa tersenyum kecil. Sepertinya, Ali sudah dewasa.

Ali terperanjat kaget, kemudian menatap umi yang sedaritadi ternyata memperhatikan segala tingkah lakunya. Ia menyengir, terkekeh pelan saat umi menaikkan satu alis, menggodanya.

"Anak umi sudah besar ternyata," katanya sembari mengusap bahu anak lelakinya.

Mata wanita tua itu menatap ke depan, di bawah sinar mentari yang menyilaukan mata. Sepertinya, baru kemarin ia menggendong Ali. Mengajak bermain, mendengar rengekan kecil, hingga mencubit hidungnya pelan saat menangis.

Tak terasa, waktu semakin berjalan. Ketika detik bermetamorfosa menjadi menit, dan menit menjelma menjadi sebuah jam, akankah ia siap melepas kepergian anaknya?

Sungguh, perubahan waktu yang begitu cepat membuatnya lupa jika dunia ini hanya sementara. Rumah, suami, anak, tidaklah hanya sebagai pelengkap dalam beribadah kepada-Nya. Jika bukan karena keadaan seperti ini, ia tidak akan menyadari akan kekekalan yang sejati: Jika hidup hanyalah ibarat meminum segelas kopi.

Bukankah sebentar? Seperti perputaran rotasi Bumi yang semakin lama semakin kilat membawa peradaban dunia ke masa-masa tua. Atau ... Bumi memang sengaja memangkas waktu agar menjadi peringatan manusia di dunia? Kekekalan tidaklah sejati di bentala.

Setitik rasa kehilangan mulai meracuni hatinya. Seperti kemarin ia melihat pertama kali Ali berjalan. Sekarang, mau tidak mau ia harus coba melepas Ali.

"Ada apa sih, Mi?" Ali berdeham, mengalihkan perhatian dengan memalingkan wajah.

Umi tersenyum, mata teduhnya menatap wajah Ali dengan tulus.

"Kamu sudah besar, Li." Umi berujar pelan. Helaan napas hadir di hidungnya.

"Sudah waktunya untuk menikah, bukan?"

Atmosfer di sekeliling mereka menghangat, sang surya kian meninggi beberapa senti. Muncuk dari balik gunung benar-benar sempurna dibanding tadi. Embusan mampu mengibarkan jilbab umi saat kibaran angin berputar pelan di antara mereka.

"Umi, Ali-"

"Belum siap? Bukankah kamu sudah bekerja? Umi takut kamu tidak bisa mempertahankan pandangamu," kata umi melirih. Ali menunduk. Pikirnya, umi pasti berkata seperti itu karena kejadian baru saja, saat ia menatap pesona wajah Zahra layaknya sinar rawi.

Kali ini, ia menunduk dalam-dalam. Menyesal karena beberapa detik tadi ia lengah. Tak mampu menjaga pandangan. Benarkah keimanannya sekarang telah luntur?

Bagaimana ia bisa membandingkan diri dengan Rabiah Al-Adawiyyah? Sufi yang bahkan tidak pernah mengenal rasa cinta kecuali pada-Nya? Zat Mutlak yang menciptakan dunia ini?

Tiba-tiba, dadanya bergetar, dalam hati beristigfar. Terenyuh saat mengasihani diri sendiri. Kenyataannya, ia belum bisa membentengi diri sendiri.

"Ali ...." Lirihan itu kembali hadir di kedua telinganya. Ali mendongak, menatap wajah teduh umi. Detik kemudian, menatap ke bawah. Pantaskah ia disebut sebagai seorang Muslim?

"Sudah, sudah. Jangan menyesali. Umi tahu sedari tadi kamu merenung menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menjaga pandangan. Itu bukan semata-mata kesalahanmu, Le. Cinta itu fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Cinta itu wajar, tidak salah, Le. Semua orang akan merasakan cinta."

"Tapi, Mi ... Ali ...."

"Itu bujan berarti imanmu luntur, tapi seperti yang umi katakan tadi. Kamu sudah dewasa, sudah mengenal yang namanya cinta yang sesungguhnya. Itu berarti, kamu sudah siap untuk membina rumah tangga."

Lengang. Tidak ada satu pun suara yang mengisi sekitar mereka. Ali masih terdiam, dan umi menunggu jawaban dari anaknya.

Tiba-tiba, ponsel Ali bergetar. Sebuah pesan Whatsapp dengan nama seseorang tertera di layar notifikasinya.

Dari: Hayfa Cantik

Kakaaaaaaaakk! Ini sudah jam berapa?! Hayfa ditanya guru-guru nih! 😡

Spontan, Ali terkejut. Ternyata sudah pukul tujuh kurang lima belas menit. Wajahnya panik. Bukan karena nama yang tertera di sana-Hayfa sendiri yang menamai kontaknya, tapi pasti adiknya itu sudah dijadikan bahan pertanyaan oleh para guru. Mungkin, kurang lebih seperti ini: 'Kakakmu di mana?', 'Kakakmu belum berangkat, ya?', 'Kok berangkatnya tidak sama Ali sih? Ke mana dia?', atau pertanyaan semacam itu. Alhasil, gadis itu sebal. Sampai mengirimi emoticon marah.

"Umi, Ali nanti telat. Assalamualaikum," katanya sembari buru-buru menuju mobil. Hanya membawa dua helai roti sebagai pengganjal perut. Sejak tadi, ia belum sempat sarapan-lebih tepatnya, ia belum sempat menghabiskan sarapan. Hanya memakan beberapa sendok nasi, kemudian Zahra datang. Dan kacaulah sesi rutinitas sarapannya.

"Waalaikumussalam."

Jawaban salam dari umi masih dapat didengar olehnya walaupun samar-samar. Ia berlari-lari kecil, kemudian masuk ke mobil. Buru-buru menyalakan mesin.

Keringat dingin mengucur di dahinya. Dalam waktu lima belas menit, bisakah ia sampai ke sekolah?

Berulang kali ia menghela napas, kemudian mengendarai mobil dengan kelajuan 80 kilometer per jam.

Untung saja, ia tiba dua menit lebih cepat sebelum gerbang ditutup. Sesegera mungkin ia menggiring kakinya menuju kantor. Saat sudah berada di tengah perjalanan, tiba-tiba ponselnya bergetar.

Dahi Ali mengerut, kemudian segera merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.

Dari: Hayfa Cantik

Kak Ali yang tamvannya nauzubillah, tidak usah ngebut, ya. Utamakan keselamatan. Muah muah 😘

Ia tersenyum simpul saat membaca pesan dari Hayfa. Kak Ali tamvan? Ali menggelengkan kepala.

Gadis remaja zaman sekarang memang lucu-lucu. Bahkan ia tak habis pikir. Atau, adiknya itu termasuk golongan gadis alay di muka bumi?

Hanya dengan Hayfa, ia mampu tersenyum seperti ini. Entahlah, gadis itu membuatnya selalu ingin tertawa.

Sepersekian detik kemudian, ia kembali berjalan. Tidak sempat menjawab pesan dari Hayfa karena bel telah berbunyi.

Salatiga, 28 Maret 2019

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang