"Dik Hayfa mau kubuatkan teh?" tanya Huda saat melihat wajah Hayfa pucat pasi. Malam semakin larut, hanya ada suata jangkrik yang mengisi kekosongan udara mereka.
Hayfa tersenyum, kemudian menggeleng. "Tidak usah, Mas. Cuma sakit kepala kok. Nanti ya bisa sembuh sendiri."
Huda yang saat itu hampir saja membuka pintu untuk keluar mengambilkan teh Hayfa pun diam setelah mendengar penuturannya. Perlahan ia berjalan mendekati Hayfa.
"Kamu mau pakai jilbab terus sampai nanti pagi, Dik?" tanya Huda saat melihat Hayfa yang terduduk di kasur dan tidak ada niatan untuk membuka jilbab. Dari tadi ada saja alasannya untuk mencegahnya melepas jilbab gadis yang sudah resmi menjadi istrinya.
Hayfa tersenyum, menggeleng gusar.
"Kenapa?"
"Takut sama Allah, Mas," lirihnya kemudian menunduk.
Perlahan Huda duduk di sampingnya, menatap manik mata Hayfa dalam-dalam. "Aku sekarang sudah menjadi suamimu, Fa. Aku berhak mengetahui aibmu, dan kamu pun berhak mengetahui aibku."
Sejurus kemudian, tangan hitam kekarnya memaksa jilbab Hayfa untuk tanggal. Hayfa meronta, tidak ingin dilepas jilbab oleh pemuda di sampingnya.
"Ada apa sebenarnya kamu ini? Mengapa tidak mau melepas jilbab? Aku sudah jadi suamimu, Dik," lanjutnya.
Hayfa menggeleng kuat-kuat. Perlakuan ini sangat kasar. Berbeda dengan apa yang biasa dikatakan oleh Ali kepadanya.
"Apa kamu tidak ingin menikah denganku?" tanyanya. Kali ini, memegang erat tangah Hayfa.
Gadis itu meronta-ronta, menangis dalam keheningan malam. Seperti dinodai padahal oleh suaminya sendiri. Kedua tangannya meraih seprai kasur kemudian menggenggam erat, batinnya tengah terpukul, dadanya sesak saat merasakan apa yang telah menjadi takdirnya.
Pernikahan yang tidak diharapkan ....
"Alih-alih kamu memuliakanku sebagai suamimu dan aku akan memuliakanmu pada malam yang diberkahi oleh para Malaikat ini, kamu malah enggan untuk membuka jilbabmu yang notabenya aku sudah menjelma menjadi mahrammu? Meronta-ronta seakan aku menjadi lelaki yang asing bagimu. Bukankah aku sudah mengucapkan janji suci di atas ayat-ayat Allah dengan menyebut namamu?"
Hayfa diam. Ia menangis tersedu. Kata demi kata yang terucap dari bibir Huda mampu mengiris-iris seluruh urat hatinya. Batinnya pedih, merintih-rintih seakan merasa bersalah yang teramat dalam. Bibirnya pun bungkam, tidak bisa merangkai kata-kata.
Bukankah cinta di atas segalanya? Tanpa dipaksa, dan tanpa paksaan.
Beberapa detik kemudian, mata pemuda itu berubah menjadi sayu. Menunduk dan mulai naik ke kasur. Sepertinya batin pemuda itu tengah berkecamuk rasa penyesalan yang dalam saat pertanyaan itu tak kunjung dijawab oleh Hayfa.
Baginya, Hayfa adalah segalanya. Namun, bagi Hayfa ... dia itu seperti apa? Hanya seorang pemuda malang yang terjebak dalam situasi cinta yang rumit ini? Hanya seorang pemuda rengsa yang dengan bodohnya berani melamar seorang gadis pujaan hati tanpa peduli isi hati sang gadis, apakah menyukainya apa tidak ....
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku yang belum bisa mencintaimu. Maafkan aku yang belum bisa menjadikanmu selayaknya suami. Maafkan aku yang tidak bisa memberikan hak-hak yang kauminta. Maafkan aku ...."
Pemuda itu tidur membelakangi Hayfa yang masih menyeka air mata. Entahlah, sudah tidur atau masih bangun tapi dengan hati yang kalut.
"Mengapa kamu menerima lamaranku jika tidak mencintaiku?"
Tidak ada jawaban yang diterima Huda. Hanya terdengar sesenggukan yang keluar dari mulut wanitanya.
Perlahan pemuda itu merasakan kehadiran Hayfa yang menghilang. Gadis itu sepertinya sedang menelpon Ali untuk meminta pulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]
SpiritualIa ingin seperti Rabiah Al Adawiyyah, seorang sufi yang begitu kukuhnya cinta kepada Allah. Saking takwanya, hingga ia tak goyah sedikit pun dengan godaan nafsu pada saat Alquran sudah hilang tergerus zaman. Itulah cinta yang hakiki. Cinta yang mele...