Part 30 : Berbincang dengan Rafi

1 1 0
                                    

Entah bagaimana kemudian jika membicarakan luka yang saat ini kita rasakan pada masa lalu. Tentu mengingat luka yang sudah tidak lagi menyapa atau malah membuat semua terasa sendu dan kembali pilu.

"Yah,kapan kapan ikut ke kantor dong."

Dirga-ayah Renata- hanya memandangnya sebentar kemudian kembali mengoles coklat pada rotinya. "Mau ngapain?"

"Ngelamar office girl," cablak Rena membuat seisi meja makan turut tertawa.

"Ngapain nanya juga si Yah?" Kesal Rena.

"Emang mau ngapain si ngapain?"

"Belajar ituan tentang perusahaan gitu lah."

Milla dan Dirga saling tatap kemudian kembali mengalihkan. "Bangun jam sembilan juga dibangunin,kerjaannya makan ngabisin isi kulkas,mau ngitung apa? Ngikut seberapa banyak makanan yang jadi lemak?"

"Bundaaaaaaaaaaaaa!!!!"

Milla,Dirga,Bi Iyem juga Mang Ujang terbahak. Rengekan gadis penghuni rumah yang sangat dirindukan. Kepergiannya ke Semarang terlalu banyak menyimpan kenangan yang membuas. Terus bertanya kemana si pemilik dan pemberi kenangan tersebut.

"Ih beneran tau!" Cibik Rena.

"Kapan kapan ya kalo kadar asupannya berkurang."

"Ish ayaaaaaaahhhhh!!!!!"

Bi Iyem terbahak dari yang lain. Sampai mengeluarkan airmatanya. Mang Ujang dan Bi Iyem sudah biasa turut makan bersama di meja makan. Awalnya keduanya benar benar menolak. Tapi keluarga terlalu memaksa keduanya untuk ikut sarapan bersama.

"Ya sudah. Ayah sama bunda berangkat ya?" Dirga dan Milla beranjak. Sedangkan Rena menyium punggung tangan keduanya. Setelah itu kembali makan beberapa potong roti.

"Bi ga bantu beresin gapapa nih? Ngantuk nih."

"Gapapa dong neng. Si neng ma gausah ikut beresin."

"Makasih ya bi? Mau keatas dulu nih," Rena beranjak dan menuju kamarnya.

Apa lah yang Rena lakukan dikamarnya saat ini selain menikmati kenyaman yang sangat menghangatkan?

Terkadang sebentang kumpulan kain yang tersusun lebih menghangatkan dari pada raga yang pada akhirnya akan melangkah juga.

Rena hanya memainkan ponselnya,pindah ke laptop yang dia bawa dari Semarang atau membaca buku. Tapi semakin lama justru suasananya semakin membosankan. Yang dia lihat tidak jauh dari tembok datar putih bersih. Tidak jauh dari buku berisi banyak rasa.

Membosankan memang. Kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Bi Iyem sudah pasti sedang membereskan seisi rumah. Begitu juga dengan Mang Ujang yang pasti sedang membersihkan kolam dan menata taman. Lalu siapa yang akan dia ajak bercerita?

Semua notifikasi tidak pernah ada yang Rena balas atau sampai Rena baca. Terlalu mengusik waktu pada masa yang tenang. Terlalu membahas luka yang malah makin menganga. Yang pada akhirnya ada benci yang mendorong kuat untuk pergi.

Selama pulang ke Jakarta,Rena tidak pernah memberi kabar pada siapa pun. Apa lagi sampai sahabatnya di Semarang. Tentu tidak akan. Pasti mereka akan menyerah juga pada akhirnya. Entah takut karena ancaman Tama atau luluh karena rengekannya.

Kali ini kecewanya cukup membuat dia malah lelah dan memasuki genangan kebencian. Entah kebencian dari mana dia sampai timbul disaat Rena masih dalam genggaman seseorang yang dia harapkan kehadirannya.

Mungkin kecewa dan rasa percaya yang terluka terlalu bertubi tanpa henti. Sampai pada akhirnya,entah hati juga logika pun menyerah untuk terus memperdebatkan apa yang akan terjadi. Keduanya sama sama merasa dikecewakan. Apa lagi hati. Yang dengan egoisnya meminta untuk tetap bertahan dengan terus memberi kesempatan. Bodoh!

Kehilangan yang MenemukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang