Happy reading
Hari demi hari terlewati dengan cepat. Dan tiba ketika Rin merasakan perjuangan yang sebenarnya. Sedari pagi ia tak bisa menahan sakit dan mual dari perutnya. Bima dan Ratna semakin menjadi linglung tidak tahu apa yang mau mereka lakukan.
"Mbak, perut aku sakit," cicit Rin yang meremas ujung gamisnya.
"Pak, ini bagaimana? Apa kita bawa ke bidan saja?"
Bima hanya diam. Sekian detik kemudian dia mengangguk dan membuka pintu rumah. Rin hanya mengikuti saran Ratna yang membawanya menuju bidan biasa yang memeriksa kandungannya. Sesampainya di sana, semua asisten bidan itu bergerak cepat mengingat ini prihal hidup dan mati.
"Bapak dan Ibu silahkan tunggu di luar saja, ya, kami akan memeriksa keadaan Ibu Rin dulu," ucap sang bidan dan langsung memasuki ruangan bersalin.
Bima dan Ratna mengangguk lalu menunggu di kursi yang ada. Semuanya tampak gelisah dan tak tenang. Tak lama Bu Fizo datang dengan Indah yang sama gelisahnya dengan Bima. Tiba-tiba ponsel Bima berdering dan menampilkan nama seseorang sebagai calon istrinya.
Ia langsung menggeser tombol hijau dan tersambung dengan lawan bicaranya. Lama tak mendengar suara wanita itu, Bima hanya diam sembari menatap lurus ke depan. Ia menjauh menuju teras ruangan itu dan bersandar di dinding.
"Apa maksudmu?"
"Biarkan wanita itu bertemu dengan Faro."
"Kau sudah sembuh? Sejak kapan?"
"Kau kira aku gila? Di mana wanita itu?"
"Dia tengah berjuang."
Lama tak ada jawaban dari lawan bicaranya, Bima ikut diam. Ia masih mempertimbangkan keputusan wanita yang tengah menelponnya itu.
"Dia-?"
"Tanpa aku beritahu kau sudah mengerti. Jadi cepat ke sini!"
Tutt....
Bima mematikan sambungan telepon dan kembali ke dalam. Ia memperhatikan pintu berwarna hijau pudar yang menjadi saksi perjuangan Rin di dalam sana. Indah memeluk ibunya dan Ratna yang diam termenung. Beruntung Lily dan Shareen tidak ikut karena mereka bersama Ahmad yang tengah panen sayur bayam.
***
Dua jam lewat terasa sangat lama bagi Bima dan semua yang menunggu Rin. Belum ada tanda-tanda bidan keluar dari ruangan itu dan memberitahu keadaan wanita yang berjuang di dalam sana. Bu Fizo sempat pulang karena mendengar kabar Lily yang menangis menanyakan Rin. Beruntung anak itu dengan cepat mengerti dan tertidur bersama Shareen.
Tetes demi tetes air hujan turun menemani perjuangan Rin dan sang bayi. Lambat laun hujan itu deras dan terdengar hanya bunyi air yang beradu dengan genteng ruangan itu. Bima mengenggam ponselnya dengan erat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Rin.
Beberapa menit kemudian bidan yang membantu Rin melahirkan keluar dengan senyum mengembangnya. Ia mendekat dan melepaskan masker dari wajah ayunya. Terdengar helaan napas panjang darinya ketika melihat wajah gelisah dari beberapa orang di sana.
"Kalian kenapa tegang begitu?" tanya bidan Aini lalu terkekeh.
"Bagaimana keadaan Rin, Bu? Dia baik-baik saja, kan? Bayinya bagaimana?"
Bidan Aini semakin tertawa kecil melihat kekhawatiran dari wajah Bima. "Semuanya baik-baik saja. Ibu Rin melahirkan normal dan anaknya laki-laki sehat dan tampan. Selamat," kata Bidan Aini tersenyum.
Semuanya diam. Tak ada ekspresi dan ucapan ataupun gerakan apapun. Lama, akhirnya senyum bahagia terbit dari semua orang dan diiringi ucapan syukur. Bahkan Bu Fizo sampai-sampai menangis karena mendengar kabar baik itu.
"Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih, terima kasih, Bu," ucap Bu Fizo sembari mengelap air matanya.
"Semuanya berkat Allah, Bu. Berterimakasih pada-Nya, saya hanya menjadi perantara membantunya. Kalau begitu silahkan masuk ketika adik saya memanggil, ya Pak, Bu. Saya pamit."
Bidan Aini menjauh menuju ruangannya. Bima tersenyum lebar dan mengecek ponselnya. Ia mengernyitkan dahinya melihat isi pesan di sana.
"Permisi, Pak, Bu, silahkan masuk ke dalam. Ibu Rin dan anaknya sudah saya bersihkan."
Adik dari Bidan Aini tersenyum dan mengantarkan mereka ke depan pintu ruangan Rin. Bima tersenyum dan berjalan di belakang Bu Fizo lalu diikuti Indah serta Ratna. Terlihat wajah pucat Rin yang menciumi pipi anaknya yang sudah diselimuti kain.
"Selamat, Nak. Akhirnya kau menjadi Ibu, jaga dia," bisik Bu Fizo sembari memeluk Rin.
"Terimakasih, Bu."
Rin menangis melihat anaknya yang menggeliat dengan mata tertutup. Ia memperhatikan Bima yang terpaku melihatnya sembari mengenggam ponselnya.
"Selamat, Rin. Aku tak menyangka dia akan melihat dunia ini dengan cepat. Boleh aku menggendongnya?"
Ucapan itu spontan keluar dari mulut Bima yang membuat semuanya menoleh. Rin lagi-lagi tersenyum kecut mengingat orang yang pertama kali menggendong anaknya bukan keluarganya bahkan suaminya tapi orang yang tak sengaja datang ke kehidupannya. Ia tersenyum singkat dan mengangguk pelan.
Bima mencoba menggendong bayi merah itu dibantu oleh Ratna. "Dia sangat mirip dengan suamimu, Rin. Kuharap dia ada di sini melihat anak ini walau tidak melihat perjuanganmu."
Rin tertegun. Ia terdiam sejenak lalu mengusap air matanya. Ia melihat anaknya yang nyaman di gendongan Bima dengan kain yang diberikan oleh Bidan Susi tadi.
Krek....
Pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan dua orang yang berdiri tegak dengan ekspresi yang tak dapat diartikan. Semua orang di sana terdiam tak berkutik ketika melihat dua orang itu. Bima meletakkan bayi itu di samping Rin lalu tersenyum tipis pada wanita itu.
"Akhirnya kalian datang."
"Rin, dia-?"
Tbc 🌾
Hayo, siapa yang penasaran sama part selanjutnya? Pantengin terus ya cerita Rin.
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di cerita aku ya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
R I N ~ (Telah Terbit)
RomanceFOLLOW HAYUKKKKK. Nb: diterbitkan oleh NovelindoPublishing Sinopsis: Cinta itu bagaikan perahu di atas lautan. Entah dermaga mana yang akan disinggahi hingga menetap. Berlabuh pada dermaga hati yang salah adalah awal dari kisah mereka. Rin dan Fa...