RIN : 41

2.5K 120 9
                                    

Happy reading

'Akan tiba saatnya di mana kamu menemukan sebuah titik temu untuk kenyataan yang tidak dapat dibohongi lagi. Percayalah.'

Semuanya tegang. Di luar ruangan itu terdapat Bu Fizo, Ratna, Bima, dan dua orang yang baru datang tersebut. Suasana masih sunyi, tak ada percakapan antara mereka. Dua orang itu duduk dengan ekspresi wajah yang berbeda. Sedangkan Ratna dan Bu Fizo tampak heran dengan dua orang itu.

"Ekhem. Jadi bagaimana?"

Wanita itu menatap satu-satu orang yang ada di sana. Ia membenarkan letak jaket tebalnya dan berdiri. Badannya yang bak model membuatnya dia terlalu sempurna bila ada di tempat seperti layanan masyarakat itu. Bahkan Bu Fizo hanya geleng-geleng kepala melihat penampilan wanita itu.

"Bima, jelaskan kenapa istriku ada padamu?"

Benar. Dia Faro. Rahangnya mengeras ketika melihat siapa yang tengah berdiri di samping istrinya berada dan menggendong bayi yang ia yakini adalah anaknya. Sedangkan Bima langsung meletakkan bayi mungil itu di samping ibunya dan mengajak Faro keluar.

"Tak bisa ku jelaskan. Mungkin dia bisa menjelaskan," jawab Bima santai dan menunjuk Adel yang tengah diam.

"Hampir satu tahun aku kehilangan istriku. Dan parahnya tanpa sepengetahuanku dia sudah mengandung darah daging kusendiri, siapa dalang di sini?"

Suara Faro masih tenang. Tidak ada tekanan dalam setiap kalimatnya. Namun, sorot matanya dapat menyiratkan bahwa ia tengah kecewa. Kecewa dengan semua apa yang telah terjadi dan semua apa yang telah ia lewati tanpa sosok yang berpengaruh dalam hidupnya.

Bu Fizo dan Ratna hanya diam mendengar alur drama nyata yang dilakukan tiga orang itu. Adel mengernyit heran lalu mengembuskan napasnya. Ia kembali duduk lalu menyandarkan kepalanya pada punggung kursi.

"Ini salahku."

Semuanya sontak menoleh kecuali Bima yang sudah tahu semua. Ia mengangkat kepalanya lalu menatap Faro. Matanya sudah memerah dan hampir menumpahkan semua apa yang ia tahan.

"Maksudmu apa?" tanya Faro.

"Aku yang menyuruh Bima mengajak istrimu ke sini. Ingat saat aku memelukmu? Itu adeganku agar istrimu bisa melihat kebohongan yang ada. Sekian lama hingga kau hampir gila tanpa istrimu, itu aku yang biarkan dia di sini. Semuanya jelas, aku yang bersalah. Hukum aku, hukum aku sesuka kalian. Aku memang wanita bejad di dunia ini. Harusnya aku tak dianggap manusia." Adel mengangis sejadi-jadinya dengan menutup kedua matanya.

Bu Fizo tampak mengelus punggung Adel lalu memberikannya tisu. Sedangkan Ratna hanya menonton sesekali mengelus lengan Adel. Walau merasa kesal, ia juga iba mendengar pengakuan dari wanita itu.

"Apa motifmu hingga berbuat seperti ini?"

Adel menoleh ke sembarang arah. "Cinta. Itu menurutku yang membuat hati ini beku akan kata 'maaf'. Dulu aku pernah bercerita pada seseorang, dia hanya menyebut ini sebagai obsesi. Tapi entah dia sekarang tak terlihat lagi, seolah semuanya tertelan oleh waktu."

"Siapa namanya?" Kali ini Bu Fizo berani ikut berbicara. Ia menatap sendu keadaan Adel yang sudah tak bisa dikatakan baik.

"Nayah. Aku lupa nama panjangnya. Otakku hanya menerima nama itu."

"Apa yang kau laku-"

"Mohon maaf. Apabila kalian ingin beradu argumen, silahkan di luar saja. Di sini tempat orang sakit, bukan tempat politik."

Ucapan Faro yang hampir meledak terpotong cepat oleh adik Bidan Aini yang keluar dengan membawa beberapa kapas ganti untuk Rin. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia segera masuk kembali meninggalkan sekumpulan orang yang menatapnya aneh.

R I N ~ (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang