RIN : 42

2.7K 120 5
                                    

Happy reading

'Orang yang selalu menjagamu dalam do'a adalah dia yang percaya akan balasanmu. Dan dia adalah aku'

Faro meringkuk memeluk istrinya yang sudah ia rindukan selama ini. Seolah semua tulang-tulang di dalam tubuhnya telah kembali setelah mendengar pernyataan Rin yang bersedia untuk kembali. Dan untuk anaknya, ia yakin akan menjadi anak yang sangat mirip dengan ibunya mengingat selama delapan bulan selalu bersamanya.


"Rin, Adel ingin masuk," ucap Bima yang tiba-tiba datang membuka pintu.

Rin mengangguk. Bima membiarkan Adel masuk dan membuat Rin tegang seketika. Begitupun sebaliknya. Adel merasakan semua anggota tubuhnya tak bergerak sesuai dengan tugasnya dan hanya diam. Ia membeku di ambang pintu sembari menahan air matanya agar tidak tumpah.

"Nayah."

"Adel."

Bima dan Faro hanya diam. Mereka tak mengetahui apa yang akan terjadi. Adel menangis, benar-benar menangis. Ia mendekati Rin dan memeluknya erat. Orang yang selalu menjadi jalan keluarnya adalah orang yang ia sakiti selama ini. Rin hanya bisa menutup mulutnya karena tak percaya dengan kenyataan yang ada. Orang yang selalu bercerita dengannya adalah orang yang tega melukainya dengan cara halus.

"Nayah, ma-afkan aku. Aku, aku benar-benar menyesal," cicit Adel masih dengan pelukannya.

Beruntung anak Rin ada di gendongan Faro hingga ia tidak tersiksa karena terhimpit oleh Adel. Anaknya hanya diam memandangi wajah ayahnya dari bawah dan sesekali mengedipkan matanya.

"Nayah, aku tidak tahu. Aku merasa orang yang paling berdosa di dunia ini, Nay."

Bima mengerti sekarang. Nayah adalah Rin. Orang yang diceritakan oleh Adel dan selalu memberikan jalan keluar untuk setiap masalahnya. Dan Bima hanya diam. Ia tidak bisa menerka apakah Rin akan memaafkan Adel. Atau tidak.

"Sebentar. Maksudnya, Nayah adalah Rin?" tanya Faro yang baru mengerti dengan keadaan yang ada.

Adel melepaskan pelukannya kemudian mengangguk. "Rinayah. Bertemu secara tak sengaja dan selalu membuatku merasa tenang. Orang yang mengatakan cintaku padamu cuma obsesi, dan itu benar. Aku adalah manusia paling berdosa di dunia ini. Bunuh saja aku! Bunuh!" jerit Adel lalu terduduk.

Ia langsung ditangkap oleh Bima dengan sigap. "Bangun, Del. Bangun."

Adel menggeleng. Rin masih dengan tangisannya. Ia tak bisa berkata apapun. Ia menghapus air matanya dengan jarinya lalu berusaha tersenyum.

"Adel," panggil Rin lembut.

Adel menoleh tanpa menyahut. "Jangan jatuhkan harga dirimu. Bila cintamu itu obsesi, jangan salahkan dirimu. Aku senang bertemu denganmu lagi, juga karena kamu aku bisa bertemu dengan Mas Faro lagi. Terima kasih," ucap Rin tulus.

Adel lagi-lagi menangis. "Nayah, aku gak tahu mau bilang apa. Apa kamu mau maafin aku? Walau aku tahu kesalahan aku udah gak bisa dimaafkan, tapi aku harap kamu bisa membuat aku lebih baik," balas Adel.

Lama. Tak ada balasan dari Rin. Adel merasa dirinya tak akan mendapat maaf dari Rin. Akhirnya, Rin tersenyum dan mengangguk.

"Bahkan Nabi saja selalu memaafkan orang-orang yang meminta maaf padanya, sebesar apapun kesalahan orang itu. Bila Nabi bisa, kenapa aku gak bisa?"

Adel tersenyum. "Terima kasih. Terima kasih, Nayah." Ia menggenggam tangan Rin erat dan lagi-lagi menangis.

Faro dan Bima hanya menjadi penonton setia melihat adegan haru dari dua wanita di hadapan mereka. Tak ada yang berani berkutik setelah tangisan anak Rin yang membuyarkan semuanya.

***

Senja telah tenggelam. Menyisakan malam yang bertabur bintang. Faro duduk di depan teras rumah dengan telepon di telinganya. Ia tengah berbicara dengan anggota keluarganya pasal Rin sudah ditemukan. Ingin rasanya Faro mengajak Rin cepat-cepat pulang tapi istrinya itu masih ingin berada di tempat itu.

"Iya, Bu. InsyaAllah lusa kami akan pulang. Anak dan cucu Ibu baik-baik saja," gurau Faro pada Nafisa.

"Awas kalau anak Ibu kurus! Kamu yang Ibu makan! Jagain cucu Ibu! "

Faro tertawa. "Iya. Udahan ya, Bu. Salam sama yang lain. Assalamu'alaikum."

"Iya. Wassalamu'alaikum."

Faro mematikan sambungan telepon dan kembali masuk ke dalam rumah. Ia melihat anaknya tertidur lelap di kasur dengan beberapa bantal kecil yang mengelilinginya. Sedangkan istri tercintanya ada di dapur tengah membuat makan malam. Dua minggu lewat dari acara haru itu, Adel dan Bima memutuskan untuk bertunangan dan menjalin hubungan lebih dari teman kecil. Faro serta Rin juga ikut bahagia dengan kabar bahwa mereka akan menikah bulan depan. Masalah Lily, Faro bisa menerima. Ia bahkan menyayangi Lily sama dengan anaknya. Rin sudah menceritakannya dan Faro memutuskan untuk tetap mengajak Lily.

Faro masuk ke dalam kamar dan menoel-noel pipi gembul anaknya. Ia tertawa kecil saat anaknya merasa terganggu dan akhirnya menangis kencang membuat Rin mengamuk di dapur. Entahlah, semenjak jauh dari Faro membuatnya semakin sangar.

"Mas! Udah deh, ganggu Abim mulu kerjaannya. Bantuin juga gak mau!" teriak Rin dari dapur membuat Faro mengelus dada.

"Ayah kalau mau ganggu adek jangan sekarang. Ntar Bunda ngamuk," ancam Lily lalu berlari menuju dapur.

Faro terkekeh lalu segera menggendong Abim, nama panggilan dari Ahmad Hafidz Al-Ibrahim, lalu mengayunkannya hingga anak itu diam. Benar, akhirnya Abim terdiam lalu kembali ke tidurnya. Faro geleng-geleng kepala melihat anaknya yang bisa sampai lima kali tidur dalam sehari.

Setelah meletakkan Abim di ranjang dan menyanggahnya dengan bantal, ia berlalu menuju istrinya yang sedang menyediakan makan malam bersama Lily. Gadis kecil itu sangat cantik. Faro bahkan menimbang Lily adalah anak kandung Rin karena wajahnya yang sangat mirip dengannya.

Tanpa aba-aba Faro langsung menggendong Lily hingga membuat gadis itu berteriak girang. "Ayah! Turunin, Lily takut jatuh!"

Faro pura-pura tak mendengarkan teriakan Lily. Rin hanya tersenyum tipis melihat kedekatan antara Faro dan Lily. Melihat Lily yang hampir menangis, Faro langsung menurunkan gadis itu dan tertawa.

"Eits, kok gadis Ayah nangis sih?"

Lily tak menjawab tapi malah menangis lebih kencang. Ia langsung berlalu dan memeluk kaki Rin yang membuat tatapan Rin mendadak menjadi buas.

"Mas, tadi Abim. Sekarang Lily. Nanti aku yang mau kamu bikin nangis, iya?"

Skakmat. Faro terdiam dan menggeleng. Ia tersenyum dan mencoba menenangkan Lily agar tidak menangis lagi. Tapi percuma. Gadis itu sangat keras kepala, beruntung Faro sabar dan akhirnya Lily bisa tertidur dengan lelap, tanpa makan malam.

"Rin, kamu marah sama Mas?" tanya Faro melihat Rin yang makan dengan cepat.

"Gak."

'Sabar, Far. Sabar.'

"Besok kita pulang ya."

"Gak."

"Terus kapan?"

"Gak."

Faro mengacak rambutnya frustasi. "Sayang, kita pulangnya kapan?"

Rin tersipu malu. "Lusa aja. Besok aku mau pamit sama Mbak Ratna, Shareen, Bu Fizo, Pak Ahmad, Indah, Bidan Aini, Susi, sama yang lain juga. Ah iya, sekalian ikan di laut mau aku pamitin. Yasinan kalau perlu," jawab Rin asal.

Faro mengembuskan napas kasarnya dan menghabiskan makanannya dengan cepat. Rin hanya tertawa pelan dan membereskan piringnya yang sudah kosong.

'Lucu juga bisa liat Mas Faro kesal kayak gini.'

Tbc🌾
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya^^

R I N ~ (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang