#01 - A Man

1K 30 11
                                    

#01 – A Man


I'm a logic man.

Mungkin kiasan itu yang cocok bagi lelaki berkulit sawo matang, bermanik mata cokelat tua, dan memiliki rambut lurus yang selalu rapi. Seperti hidupnya yang selalu berjalan sesuai rencana.

Langit sore ini ia nikmati dari balik jendela kaca pesawat. Sepertinya sudah masuk waktu Maghrib. Warna kombinasi kuning, oranye, merah, dan biru gelap sungguh indah untuk tidak membuat lisannya mengucap syukur berkali-kali dalam hati. Ditambah lagi beberapa kaki di bawahnya terhampar lampu-lampu ibu kota yang ingin menantang cahaya bulan untuk menyinari daratan Jakarta. Ternyata selain menantang cahaya bulan, Jakarta juga ingin menggapai bulan. Gedung-gedungnya tinggi, benar sekali jika dibilang gedung pencakar langit.

Tidak seperti tujuan-tujuan orang lain datang ke Jakarta. Jakarta dengan segala warna dan rasanya, dengan tumpukan dan tumpahan segala jenis orang, pekerjaan, dan kriminal. Pekerjaan lelaki itu di Surabaya sudah cukup bagus, bahkan ia sudah bisa beli rumah sendiri di kawasan elit Surabaya. Di Jakarta ini, pertama kalinya aku akan bertemu dengan calon istrinya.

Ya, calon istrinya. Akhirnya.

"Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta," kemudian pramugari tersebut menginstruksikan agar penumpang menegakkan sandaran kursi, memakai sabuk pengaman, dan juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para penumpang.

Sedikit turbulensi terjadi ketika pesawat mulai turun ke lintasan landas. Agak kencang sampai lelaki itu tanpa sadar berdoa dalam hati, meminta perlindungan dari Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.

Masih ada sekitar tujuh belas jam lagi sampai waktu pertemuan antara dia dan calon istrinya. Orang tuanya akan menyusul dari Surabaya menggunakan penerbangan besok pagi. Dia juga ada niat untuk bertemu dengan kawan lamanya di Jakarta malam ini, termasuk akan menginap di kondotelnya yang memang ia peruntukkan untuk disewakan, baik harian, mingguan, bulanan, tahunan. Yang penting ada pemasukan dari investasi propertinya.

"Adnan!"

Lelaki itu mendengar sebuah suara yang sangat familiar, menyerukan namanya ketika sudah melangkah hampir 10 meter dari arrival gate.

"Woy, dab! Piye kabare?" sapa Adnan dalam bahasa gaul anak muda Yogyakarta, tempatnya menempa pendidikan kuliah.

Adnan mengira akan sampai tanah Jakarta tanpa sambutan. Yang ia tahu sahabatnya ini masih di Yogyakarta, dia memang menetap di sana namun mencoba investasi properti di Jakarta.

"Waaah, ndableg siji iki, ra weruh matur nuwun. Aku masih saja kamu panggil 'Dab'. Kita sudah bukan anak kuliah Jogja lagi," kata sahabatnya, Zamran, sembari merentangkan tangannya.

Adnan membalas pelukannya disertai tepukan-tepukan keras di punggung.

"Kamu kok di Jakarta? Aku kira di Jogja," kata Adnan sambil melepas pelukan mereka.

"Kemarin pagi istriku dapat kabar sahabatnya di Jakarta melahirkan. Kebetulan kami sedang tidak ada keperluan penting di Jogja, jadi kami langsung ke Jakarta, siang tadi sudah sampai. Aku sengaja ndak ngabari sampeyan, biar surprise," jelas Zamran sambil terkekeh.

"Alah, segala surprise. Oh ya, sudah lama juga kita nggak ketemu, kayanya setelah lulus S1 ya?" tanya Adnan.

"Sampeyan sing sok sibuk. Beda lah mahasiswa fast track, tingkat tiga S1 langsung kuliah lagi S2. Bocah ketinggalan sarjana kaya aku ini lagi berusaha fokus menyelesaikan sarjana. Tapi akhirnya kita wisuda bareng, bedanya kamu sudah gelar master, aku masih gelar sarjana."

Dua Kita - Romance Novel [SUDAH TERBIT - SHINNA MEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang