#12 - They're Connected

193 11 0
                                    

Situasi di sekitar bandara baru ini benar-benar sulit terkendali. Setiap hari ratusan pendemo datang ke lahan bandara dan melakukan aksi. Tanpa lelah, mereka memperjuangkan hak lahan mereka. 

Meskipun ada kompensasi dari perusahaan bagi pada warga yang terkena gusur, namun nilai NJOP-nya masih belum memenuhi harapan. Sebenarnya ini hanya masalah provokasi. Ada provokator yang masuk ke dalam komunitas dan sampai sekarang belum ditindaklanjuti.

Sudah hampir satu minggu Adnan berada di Yogyakarta. Sebenarnya bukan urusannya masalah pembebasan lahan agraria. Namun entah mengapa, perusahaan tetap menahannya untuk tidak pulang ke Jakarta.

Dan sudah dua hari Rana menghindari teleponnya. Ia hanya mau dihubungi via chat WhatsApp, padahal Adnan ingin mendengar suara Rana. Rindu sekaligus berusaha mengenyahkan sosok Marryn dari otaknya.

"Adnan," panggil Marryn membuyarkan lamunan Adnan.

Saat ini mereka berdua sedang berada di kafetaria rumah sakit. Wanita berparas blasteran itu membawakan dua botol minuman dingin, untuk Adnan dan untuk dirinya sendiri. Kemudian wanita itu duduk di seberang Adnan.

"Keara gimana?"

"Sudah jauh lebih baik. Aku yang memastikannya sendiri."

Adnan membuka tutup botol minumannya lalu menenggaknya. "Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong, waktu itu kamu belum cerita lengkap kejadiannya. Boleh diceritakan sekarang?" tanya Adnan. "Makasih, Ryn," tambahnya sambil mengangkat botol minumannya.

Marryn terdiam sejenak. Memikirkan apakah mereka cukup dekat untuk saling bercerita?

"Aku lagi coba-coba cari kerjaan, Nan, di pinggiran Jogja. Siapa tau ada puskesmas atau klinik, atau apapun di bidang kesehatan, yang mau nerima aku. Tujuan pertamaku langsung rumah sakit ini. Lalu Keara merengek. Kamu tau sendiri, anak spesial seperti Keara tidak bisa menghadapi situasi yang asing baginya. Dia biasa di rumah lalu harus panas-panasan di jalan." Marryn terkekeh. Ia berhenti sejenak dan meminum minumannya.

"Lalu dia merengek parah. Antara lapar, haus, panas, dan nggak ada tempat main. Padahal aku udah bawakan boneka kesayangannya. Lalu tiba-tiba dia keserempet motor, kepalanya membentur trotoar dengan keras. Sampai bocor."

Adnan menatap jerih. Membayangkan anak sekecil itu kepalanya bocor.

"Lalu, kamu udah pastikan dokternya bagus?"

"Ya, aku udah pastikan. Dokternya dulu pernah kerja bareng aku waktu koas."

Adnan manggut-manggut. Dia lebih awam karena memang bukan dari jurusan kedokteran.

"Ryn, maaf aku boleh tanya? Tapi pertanyaannya agak sensitif," kata Adnan.

Marryn menelengkan kepalanya. Ia tersenyum tipis lalu mengangguk samar.

"Suamimu... kemana?"

"Kamu belum baca catatanku?"

Lalu pikiran Adnan melayang pada buku harian Marryn.

* * *

Flashback, seminggu sebelumnya.

Sudah sepuluh menit mobilnya terparkir di basement hotel. Tapi lelaki berwajah teduh itu belum keluar dari kursi kemudi. Ia menimbang buku catatan di tangan kanannya, ragu untuk membaca atau tidak.

Akhirnya Adnan memberanikan diri membuka halaman pertama buku catatan berwarna biru muda itu.

Marryn Madelife

Nama Marryn terpampang di halaman pertama buku catatan itu.

23 Juli 2015.

Dua Kita - Romance Novel [SUDAH TERBIT - SHINNA MEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang