Bagaimanapun bahagianya kita ketika bersama seseorang, tetap ada setitik perasaan hampa. Karena bahagia dengan orang yang salah, selamanya akan tetap salah.
Matahari sudah condong ke barat ketika akhirnya Adnan membuka mata karena terusik oleh wangi sambal terasi dari arah dapur rumah Marryn. Ia mengerjap sesaat, mengumpulkan nyawa. Matanya berkeliling ruangan, sedikit bingung dengan tempat asing ini.
Lalu sebuah tangan mungil mampir di lengannya. Membuat Adnan akhirnya sadar ia sedang berada dimana saat ini.
Lelaki berkulit sawo matang itu mengerling ke arah pergelangan tangannya, melirik arloji yang hampir selalu melingkar di tangannya meskipun dalam keadaan tidur. Pukul 16.30.
"Astaghfirullah," gumamnya. Ia belum sholat dzuhur gara-gara ketiduran, sekarang sudah masuk ashar. Untung hukum perjalanan masih bisa membolehkannya untuk mengabungkan sholat.
Adnan segera keluar dari kamar Marryn lalu berjalan ke belakang rumah, letak dapur dan kamar mandi berada.
"Hai, sudah bangun?" sapa Marryn. Wanita blasteran itu tengah memakai celemek berwarna biru muda dengan tangan kanan memegang spatula.
"Aroma sambelnya bikin aku bangun," jawab Adnan. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Wah, maaf!" seru Marryn kemudian buru-buru menutup wajan sambalnya dengan tutup panci dan membuka seluruh jendela belakang rumah agar aroma pedasnya keluar dari ventilasi.
"Nggak apa-apa, kok. Kalau nggak gitu, aku nggak akan bangun. Udah hampir jam lima, aku belum sholat ashar." Adnan nyengir.
"Oh," jawab Marryn. Ia tersenyum kecut. "Kamar mandinya ada di sana ya." Marryn menunjuk sebuah pintu kayu yang sudah lapuk di sudut ruangan. "Maaf, kamar mandinya masih di luar dan agak terbuka."
"Hah serius, Ryn?"
"Err—ya, emang kenapa?"
"Kamu tiap hari mandi di situ? Kamu nggak takut diintip?"
Marryn terkekeh geli atas reaksi Adnan yang berlebihan. "Memang kenapa? Warga sini nggak akan ada yang ngintip, aku udah kenal semua kok."
"Tetep aja." Adnan mendengus. "Besok aku panggil tukang ya?"
"Hah? Buat apaan?"
"Buat nongkrong makan gudeg di rumahmu. Ya buat benerin kamar mandimu biar jadi kamar mandi permanen."
"Nggak per—"
"Nggak ada bantahan," potong Adnan. Ia segera keluar dari rumah melalui pintu belakang dan mengambil air wudhu. Setelah itu ia minta izin untuk menumpang sholat di ruang tengah rumah Marryn.
Selesai sholat, Adnan masih duduk di atas sajadah Marryn. Menyentuh sajadah itu lamat-lamat. Dilihat dari fisiknya, sajadah ini terlihat jarang dipakai. Terlihat masih sangat baru bahkan masih ada label harganya.
"Udah selesai?" Marryn tiba-tiba muncul di belakang Adnan sambil membawa beberapa piring di tangan sampai lengannya, sudah seperti karyawan restoran masakan Padang.
"Eh, sebentar aku bantu." Adnan segera melipat sajadahnya kemudian mengambil beberapa piring dari tangan Marryn.
"Makasih," kata Marryn pelan.
Hidangan yang baru saja selesai dimasak Marryn; plecing kangkung, ikan nila goreng, sambal, tahu dan tempe goreng.
"Kamu biasa masak begini, Ryn?" tanya Adnan.
"Hmm.. iya. Maaf ya, menunya gini-gini aja, Nan, biasa banget," katanya.
"Eh maksudku biasa itu—masakanmu sering—eh, kamu sering—maksudku, selalu masak dua menu sehari?" tanya Adnan setelah sebelumnya tergagap. Takut menyinggung Marryn karena maksudnya bukan masalah menu yang sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kita - Romance Novel [SUDAH TERBIT - SHINNA MEDIA]
RomanceGimana rasanya baru 2 bulan menikah lalu mendapati suami yang terlihat baik dan sholeh, tiba-tiba selingkuh? Belum lagi tiba-tiba datang seorang lelaki asing yang membuatmu nyaman? Lalu, jika mereka berempat dipertemukan dalam satu dunia, namun deng...