#07 - Antara Jakarta dan Yogyakarta

217 14 1
                                    

Pendaratan sempurna di bandara Adisutjipto Yogyakarta tepat pukul 10.20. Masih cukup pagi dari jadwal meeting pertama Adnan di salah satu perusahaan infrastruktur, Kementerian Perhubungan, dan juga pemerintah daerah Yogyakarta.

Megaproyek New Yogyakarta International Airport menjadi proyek besar Adnan dalam beberapa tahun belakang, sejak masih menjabat di Surabaya, pun saat sudah dimutasi ke Jakarta. Jaringan infrastruktur dan sistem informasi bandara salah satu hal terumit yang harus Adnan tangani sendiri, tidak menyerahkan kepada anak buahnya.

Megaproyek ini cukup menguras tenaga dan pikiran. Adnan membawahi kebutuhan teknologi di bandara internasional baru ini dari sisi hardware maupun software. Bagaimana sistem yang bekerja dalam bandara, sistem yang menghubungkan antar bandara untuk penerbangan domestik maupun internasional, dan juga sistem terpisah antara maskapai dengan bandara.

Tepat setelah Adnan selesai mengambil barangnya di bagasi, telepon genggamnya berdering.

"Halo, assalamu'alaykum, Dek," sapanya kepada si penelepon, istri tercinta.

"Waalaykumussalam, Mas udah landing?"

"Udah dong, buktinya mas udah aktifin jaringan telepon lagi. Makasih ya, Sayang. Lagi dimana?"

"Rana lagi di kafenya Mbak Annisa. Yaudah, Mas ke hotel dulu istirahat. Meeting-nya jam 2 nanti kan?"

"Iya, Dek. Ini Mas mau naik taksi ke hotel. Have fun, Sayang."

Setelah mengucap salam, percakapan mereka terputus. Adnan dengan gesit segera mencari taksi dan meluncur menuju hotel tempatnya menginap, hanya sekitar lima kilometer dari bandara.

* * *

"Beneran lo mau ikut gue ke kafe? Emang lo nggak capek? Perjalanan Seoul-Jakarta tujuh jam di pesawat lumayan loh," kata Rana saat Rayyan bilang mau ikut ke kafe alih-alih pulang ke apartemennya.

"Tujuh jam doang. Lagian gue kan pakai first class. Cuma duduk, tiduran doang di pesawat."

"Emang ya lo, nyombong mulu kerjaannya. Tadi sombong punya alat syuting lengkap, sekarang nyombong naik first class," ledek Rana. Rana paham orang seperti Rayyan tidak akan mudah tersinggung dengan gurauan agak kasarnya.

"Hahaha, kan gue lagi bargaining position sama lo."

"Hah? Ngapain, ngapain?" Rana pura-pura tidak dengar plus memang tidak mengerti, bargaining position dalam hal apa.

"Iya, gue lagi naikin penawaran gue ke lo."

"Penawaran apaan? Lo mau jual kesombongan sama gue? Sorry, nggak butuh."

"Penawaran buat jadi partner yang lo perhitungkan." Partner hidup maksudnya, batin Rayyan.

"Nggak usah dihitung-hitung, lo sangat sangat sangat qualified buat jadi partner proyekan gue kok. Lo malah yang harus mikir-mikir buat proyekan sama gue."

Rayyan hanya nyengir.

Tidak terasa mereka sudah berada di pelataran kafe. Rupanya mereka datang bertepatan dengan pemasangan nama kafe Annisa. Namanya adalah Abbasy Café and Eatery. Tidak seperti nama kafe pada umumnya yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

"Assalamu'alaykum Mbak Annisa," sapa Rana begitu masuk ke dalam kafe. Tidak terlihat batang hidung Annisa sepanjang mata memandang.

"Waalaykumussalam. Eh, Rana udah sampai." Muncul sosok Annisa dari balik pantry. "Eh, Rana nggak sendiri ternyata. Siapa ya namanya, maaf aku lupa."

Dua Kita - Romance Novel [SUDAH TERBIT - SHINNA MEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang