Berbekal relasi di maskapai penerbangan, Adnan pun mendapatkan tiket penerbangan tercepat menuju Soekarno Hatta. Tidak peduli ia harus merogoh kocek agak dalam.
Dua setengah jam berikutnya ia sudah sampai di pintu kondominiumnya. Ia segera memencet angka-angka yang sudah ia hafal di luar kepala.
"Ran--"
Ia memang yakin Rana ada di dalam kondominium. Tapi ia tidak menyangka bahwa ada orang lain yang sedang bersama Rana.
Rayyan dan Rana yang sedang duduk di sofa santai mereka, dengan posisi Rana duduk selonjor dan Rayyan yang agak berlutut di samping Rana. Tangan lelaki berwajah oriental itu tergantung di udara, sendok dan suapan bubur di tangannya hampir mencapai mulut Rana. Yang tidak Adnan sadari adalah tatapan kosong Rana, seperti jiwanya tidak sedang bersama raganya. Darahnya perlahan mendidih.
"Mas!" pekik Rana. Refleks ia bangkit.
"Ran?" desis Adnan, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Baru beberapa hari ia tinggal, Rana sudah berani membawa lelaki lain ke dalam tempat tinggalnya?
Rana berjalan dengan agak tertatih menuju Adnan.
"Mas, kok udah pulang?" tanyanya. Tangannya meminta tangan Adnan untuk ia salami.
Adnan tidak menjawab pertanyaan Rana maupun memberikan tangannya untuk dicium Rana. Ia menatap tajam Rayyan yang kini sudah berdiri.
"Keluar dari rumah saya," kata Adnan dingin. Tangannya mengepal, menahan diri untuk tidak melayangkan tinju kepada Rayyan.
Rayyan hanya mengangkat bahu, menaruh mangkuk buburnya dan mengambil tas pinggangnya.
"Gue balik, Ran," pamit Rayyan. Ia pun menghilang dari pintu keluar.
Takut-takut, Rana mencoba menyentuh lengan Adnan.
"Mas..."
"Kenapa dia bisa ada di sini?"
"Aku mau cerita sama kamu, Mas, tapi--"
"Dan dia nyuapin kamu, Ran!" bentak Adnan. Selama hampir 3 bulan pernikahannya, Adnan belum pernah sama sekali membentak apalagi marah kepadanya.
"Dia lagi ngerawat aku, Mas," kata Rana. Ia berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terbawa emosi.
"Kamu sakit, kamu nggak ngasih tau aku, dan kamu malah dirawat dia?!"
Bukan pertanyaan penuh cemburu itu yang Rana harapkan. Seharusnya Adnan menanyakan Rana sakit apa. Tapi ia terlanjur cemburu dan kelewat khawatir akan kedekatan Rana dengan Rayyan.
"Aku nggak enak ganggu Mas. Mas kan lagi banyak kerjaan."
Adnan menjatuhkan dirinya ke sofa. Duduk tepekur dengan tangan memijat dahi dan matanya terpejam.
"Mulai sekarang kamu nggak boleh dekat-dekat dia lagi."
Rana menatap Adnan dengan tidak percaya. Ia memincingkan mata menatap Adnan. Segitu cemburunyakah Adnan? Ia tidak akan menjauhi Rayyan tanpa alasan, apalagi hanya karena Adnan yang cemburu buta. Dan juga ia sudah terlanjur nyaman berteman dengan Rayyan.
"Kenapa? Karena Mas cemburu?" tanya Rana tidak terima. Nada suaranya meninggi.
"Bukan itu, Ran. Aku cemburu, iya. Tapi ada hal lain. Rayyan bukan lelaki baik, Ran," nada suara Adnan menurun.
"Haha," Rana tertawa sarkastik. "Gimana bisa kamu tau padahal sekali pun kamu nggak pernah ngobrol sama dia?"
Adnan terhenyak. Sejak kapan Rana berani memanggilnya "kamu" tanpa ada embel-embel "Mas".
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Kita - Romance Novel [SUDAH TERBIT - SHINNA MEDIA]
RomanceGimana rasanya baru 2 bulan menikah lalu mendapati suami yang terlihat baik dan sholeh, tiba-tiba selingkuh? Belum lagi tiba-tiba datang seorang lelaki asing yang membuatmu nyaman? Lalu, jika mereka berempat dipertemukan dalam satu dunia, namun deng...