"Semua yang dilakukan dengan tergesa-gesa, bukan tidak mungkin menimbulkan keterpaksaan. Terkadang membiarkan sesuatu melaju pelan mampu membuka mata untuk menikmati semua prosesnya."
• ~~ • ~~ •
Gilang menatap ponsel Ifabella yang tergeletak di meja. Bergetar untuk ketiga kalinya, menampilkan nama Rama di layar.
"Sorry, kemarin gue ketiduran sampe lupa telpon lo. Ini aja gue baru bangun. Baru liat pesan lo. Jam berapa sampe rumah? Di jalan baik-baik aja?" Rentetan pertanyaan mengalir dari mulut Rama ketika Gilang menjawab panggilan Rama di ponsel Ifabella
"Pacar lo di toilet. Gue lagi bareng dia makan es krim." Sesudah berkata demikian, Gilang langsung memutus sambungan. Meletakkan kembali ponsel Ifabella di meja dan mengirim lokasi kepada Rama lewat ponsel miliknya.
Bila mengikuti egonya, Gilang lebih memilih untuk menonaktifkan ponsel Ifabella, setelah sebelumnya menghapus catatan panggilan tak terjawab dari Rama. Tapi, ia memilih bertarung sportif. Tanpa sepengetahuan Ifabella, Gilang menghubungi Rama saat mereka sedang berbincang. Membiarkan sahabatnya mendengar pembicaraan mereka. Berusaha menyadarkan Rama bahwa apa yang dia lakukan membuat gadis kesayangannya terluka.
Gilang menghela napas keras. Pagi tadi ia memutuskan untuk ke rumah Ifabella. Mengunjungi gadis kesayangan sahabatnya. Entah apa yang mendorong hingga rasa ingin itu sangat besar. Gilang hanya tahu bahwa Ifabella tidak baik-baik saja karena pertemuan dengan mantan sahabatnya. Dan di sinilah ia sekarang, duduk di kedai es krim menemani Ifabella sebelum Rama datang.
Mendengarkan penuturan Ifabella tentang kegundahannya sedikit menohok Gilang. Kegelisahan dan berbagai emosi lain yang sedang melanda gadis berambut sebahu itu meyakinkan Gilang, bahwa Ifabella mempunyai rasa tak biasa pada Rama. Dan rasa itu cukup besar.
Di tengah perbincangan, Gilang melihat Rama yang bergegas menghampiri. Segera ia berdiri, dan pergi setelah menasihati Rama, juga pamit pada Ifabella. Biarlah rasanya ia sendiri yang menanggung. Tak mengapa tak berbalas.
• ~~ • ~~ •
Hari sudah menjelang sore saat Rama menghentikan mobilnya di depan rumah Ifabella. Perasaan lega meluap dalam diri Rama meski terselip cemburu mengetahui Gilang menyimpan suka pada gadis kesayangannya.
Ini kali pertama Rama masuk ke dalam rumah minimalis berwarna putih itu. Sepi seketika menyapa seolah tak ada kehidupan sebelum kedatangan mereka berdua. Perasaan tergelitik muncul di sudut hatinya melihat sesunyi itu hidup Ifabella. Berbanding terbalik dengan keadaan rumahnya yang selalu ramai dengan suara ibunya. Udara yang dipenuhi harum aroma masakan dan kue yang sedang dipanggang.
"Lo sendirian?"
"Ga. Ada Mbok Sukma dan Pak Sukamto." Ifabella menjawab seraya menggeleng.
"Bokap lo?" Ifabella mengendik, tak menjawab. Berjalan ke dalam rumah kemudian kembali membawa minuman dingin dan toples berisi camilan.
"Enak. Beli di mana?"
"Buat sendiri."
"Serius?" Ifabella mengangguk. Keningnya berkerut melihat senyum lebar Rama. Mata cokelat muda di hadapan Ifabella berbinar jenaka. Membuat Ifabella bertanya-tanya.
"Ada apa?"
"Jadi ngebayangin tiap hari makan buatan tangan lo kalo kita udah nikah nanti." bisik Rama terdengar lirih di telinga gadis kesayangannya. Namun hangat embusan napasnya yang menyapa sisi wajah Ifabella mampu mengirim getar ke seluruh tubuh gadis itu. Membuat perut Ifabella terasa diserbu ribuan kepak sayap kupu-kupu. Hingga memunculkan rasa panas pada pipinya. Perlahan merambat ke telinga kemudian mencapai leher. Wajah putihnya kini bersemu semerah mawar. Sungguh ia tidak mengira ucapan Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF... (On Hold)
Teen FictionIfabella Srikandi Sucipto pindah sekolah dari SMA Harapan Pertiwi karena dicurangi sahabatnya. Di sekolah yang baru, If bertemu dengan ketua OSIS yang langsung mengklaim If sebagai pacarnya. Tentu saja hal itu membuat If langsung memasukkan Rama seb...