19. Wound and Healing

8 0 0
                                    

"Tak ada yang bisa membenarkan kejahatan yang kau lakukan dengan sadar. Karena luka yang kau sebabkan pasti meninggalkan bekas."

• ~~ • ~~ •

Langit mulai berubah warna. Udara semakin sejuk seiring hilangnya pancaran panas dari sinar mentari. Tak jauh dari tempat Rama memarkir motornya, Ifabella terpaku menyaksikan sebuah kursi roda meluncur mulus ke arah dirinya dan Rama berdiri. Genggamannya mengerat. Menelengkan kepala, Ifabella mengamati perempuan dengan rambut sedikit memutih itu. Perlu beberapa waktu hingga ingatan tentang seorang perempuan dewasa hadir di benak gadis itu. Ifabella membelalak. Perempuan yang biasa tampil modis dan anggun kini hampir tak Ifabella kenali. Mungkin apabila ia tidak melihat gadis yang muncul di belakang perawat yang mendorong kursi roda itu, Ifabella tak akan mengenali sosok perempuan setengah baya di hadapannya.

"Apa kabar, Nak?" Perempuan itu menyapa ramah. "Sudah lama kamu ga main ke rumah. Kamu marahan dengan Melisa?" Wajahnya yang terlihat lebih tua dari usianya itu terbalut senyum lebar hingga menyipitkan matanya.

Dengkusan keras terdengar dari arah belakang kursi roda. Sambil bersedekap dengan tangan terkepal, Melisa membuang muka melihat betapa lembut sikap ibunya terhadap Ifabella. Selalu seperti itu. Gemuruh cemburu menggulung tanpa bisa gadis itu cegah. Selalu Ifabella. Di rumah, di sekolah, nama Ifabella selalu disebut-sebut bersanding dengan berbagai kata sifat positif.

Ifabella bergerak menghampiri perempuan setengah baya itu setelah melepas tangan Rama. Mengabaikan Melisa.

Senyum lembut terulas tipis di wajahnya. "Baik, Tan. Gimana kabar, Tante?" Ifabella membungkukkan badan, memeluk singkat perempuan yang tampak tak semuda dalam ingatannya.

"Seperti yang kamu lihat." Miranda menunjuk kondisi dirinya dengan wajah sendu. Lalu tangan kurusnya menangkup milik Ifabella yang kini bersimpuh di depannya. Mata cokelat milik Miranda menelisik Ifabella. Berbagai ekspresi muncul, hingga setetes bening meluncur turun. Ifabella terhenyak, bergerak cepat menghapus air mata itu. Genggamannya mengerat, seolah memberi kekuatan.

Bagai bara yang tertiup angin, amarah perlahan membesar dalam diri Melisa. Menyaksikan ibunya mendekap mantan sahabatnya dengan penuh kasih.

"Munafik!" Melisa mengumpat. Cukup keras sampai mengagetkan empat orang lainnya.

"Mel, kamu apa-apain sih?" Miranda menegur putrinya. Terkejut dengan kekasaran yang keluar dari anak bungsunya itu.

Tidak terima ditegur di depan Ifabella dan Rama, juga perawat yang kini pelan-pelan beringsut menjauh, Melisa maju lalu mendorong Ifabella kasar hingga hampir terjerembap.

"Mel!" hardik Miranda. "Kamu kenapa, sih? Kok kasar banget? Mama ga pernah ngajarin kamu seperti itu!"

"Anak mama itu aku! Bukan dia! Harusnya mama belain aku!" sentak Melisa. Miranda mengernyit tidak mengerti.

"Kamu memang anak mama. Ke...."

"Tapi mama ga pernah nganggap aku anak mama!" Telunjuk Melisa terangkat menuding Ifabella yang berada dalam rangkulan Rama. Wajah cantik Melisa semakin menggelap seiring rentetan kata yang ia ucapkan.

"Apapun yang aku lakuin selalu saja mama banding-bandingin dengan Bella! Bella lebih baik. Bella lebih pintar. Bella lebih penurut. Bella lebih cantik. Bella ... Bella ... Bella terus! Mama mikirin perasaan aku ga sih? Ga salah kalau aku mikir anak mama itu Bella, bukan aku!" Melisa menghapus kasar airmata yang membasahi pipinya. Emosi negatif yang sudah lama bercokol di hatinya kini meluap tak terbendung.

IF... (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang